Jumat, 04 Februari 2011

Piala Sang Juara


                Lagi-lagi mereka memuji gita, saudara tiriku. Padahal, apa sih hebatnya gita? Mereka terlalu berlebihan dalam memuji. Huh, aku jadi bete melihatnya disanjung-sanjung terus seperti itu. Akupun sengaja membuang muka saat gita melihatku. Aku bergegas pergi keruang ganti. Jangan sampai senyum gita merusak kebahagianku saat ini, pikirku.
                Tadi, pelatih klub renangku, pak duta, memilih diriku untuk mengikuti kejuaraan renanng tingkat kotamadya. Aku senang sekali. Apalagi aku ditemani debo, ketua klub renang yang juga teman sekelasku. Hmmm......kebetulan sekali, karena sebenarnya sudah lama aku menyukai dirinya.
                “selamat ya, gita! Akhirnya kamu terpilih mengikuti kejuaraan renang memperebutkan piala walikota,” kata papa tiba-tiba saat kami makan malam bersama.
                “apa? Gita yang terpilih?” tanyaku kaget.
                Mama tiriku mengangguk, “benar, ify! Tadi pak duta menelpon papa. Katanya, ada sedikit kekeliruan. Dia memilih gita untuk mewakili klub dalam kejuaraan tersebut.”
                Huh, rasanya langit seperti runtuh menimpaku. Nafsu makanku hilang seketika. “aku sudah kenyang!” ujarku, lalu meninggalkan mereka dan masuk kekamar. Rasanya aku ingin menangis.
                Lima tahun yang lalu, ibuku meninggal dunia. Dan aku baik-baik saja setelah itu. Sampai kemudian, empat bulan yang lalu, papa menikah lagi dengan tante winda. Semula aku tidak keberatan dengan kehadiran tante winda dan putrinya, gita. Tapi, gita kemudian seperti merebut perhatian papa dan teman-temanku yang sekarang lebih senang mengobrol dengannya. Kata mama, usia kami hanya terpaut beberapa bulan, sehingga mestinya kami cepat akrab. Namun, kenyataanya aku malah jadi sebal terhadapnya.
                Sore keesokan harinya, klub mengadakan lomba renang gaya kupu-kupu. Pesertanya anak-anak yang berenangnya paling cepat. Tentu saja aku ikut. Begitu pula dengan debo dan gita. Dalam hati, aku bertekad akan mengalahkan gita.
                “siap....PRIIIIIT!!!” pak duta meniup peluit tanda mulai. Aku berenang sekuat tenaga. Saat aku menoleh kesamping, gita tidak ada. Jangan-jangan dia telah jauh didepan. Maka, aku pun bergegas untuk mencapai finish.
                Akhirnya, aku menang. Disusul debo, ozy, acha, baru kemudian gita. Huh, apa-apaan ini? Gita sengaja mengalah supaya aku senang, ya? Batinku.
                Teman-teman mengerubungi gita sambil memujinya. Tak satu orangpun yang memberiku selamat. Semua mengatakan bahwa gita sudah berusaha keras dan ia tetap yang terhebat.
                Cukup sudah. Aku tidak suka dengan semua ini. Aku jadi semakin sebal sama gita!
                “pa, ify ingin keluar dari klub renang,” kataku kepada papa malam harinya.
                “lho, kenapa? Bukankah sejak kecil kamu sangat hobi berenang?” tanya papa heran.
                “susah mengatur waktunya, pa. Apalagi sekarang ify sudah kelas 3 smp. Ify nggak ingin nilai pelajaran jadi turun,” jawabku berbohong.
                “ya sudah, kalau memang itu yang terbaik buatmu.” Aku bersyukur sudah keluar dari klub renang. Teman-teman klub banyak yang menyayangkan keputusanku. Tapi, kurasa mereka Cuma basa-basi saja.
                Sekarang, gita sedang rajin-rajinnya berlatih. Maklum, kejuaraan renang tinggal seminggu lagi.
                Malam itu, gita datang kekamarku. Ia tampak cemas.
                “ada apa?” tanyaku.
                “fy, maukah kau menggantikanku dalam kejuaraan renang nanti? Aku merasa tidak sanggup!” pintanya tiba-tiba.
                “apa maksudmu? Kamu kan, lebih hebat dariku! Kamu mau mengejekku ya?” ucapku kesal.
                “bukan begitu, fy. Jujur ya, sebenarnya aku mudah gugup kalau sedang berenang ditonton banyak orang. Apalagi kalau dilombakan. Kamu ingat saat kita berlomba tiga hari yang lalu? Aku orang terakhir yang menyentuh finish, kan? Saat itu aku benar-benar gugup, makanya aku kalah. Please...fy, kamu mau menggantikan aku, kan?” pinta gita memelas.
                Nggak bisa begitu, gita! Aku sudah keluar dari klub. Apalagi, namamu kan sudah terdaftar dipanitia lomba sebulan yang lalu,” jawabku bingung. “atau begini, bagaimana kalau kita berlatih bersama saja? Kita akan coba menghilangkan rasa gugupmu,” usulku. Gita tampak ragu, tapi akhirnya setuju.
                Setiap hari kami berlatih adu cepat. Aku meminta orang-orang yang ada disekitar kolam untuk menyoraki kami. Awalnya gita memang sangat gugup, sehingga gerakannya lamban. Tetapi, lama-kelamaan ia mulai terbiasa dengan sorakan penonton dan rasa gugupnya pun perlahan hilang. Aku mau membantu gita karena ia sudah jujur mau merendahkan hati. Aku juga tidak ingin ia membuat malu klub.
                Kejuaraan renang diadakan hari ini. Papa dan mama datang untuk memberi semangat. Tapi, gita masih tampak gugup.
                “ayo, kamupasti bisa! Lakukan seperti yang biasa kamu lakukan denganku. Anggap mereka tidak menontonmu. Konsentrasilah dan percaya diri. Hanya kamu yang bisa menilai seberapa hebat dirimu,” kataku sebelum ia memasuki kolam renang.
                “makasih ya, fy. Kalau aku menang, piala dan hadiah uangnya akan kuberikan untukmu,” bisik gita sambil memeluk erat diriku.
                “bersiap...PRIIIIIT!” peluit pun berbunyi. Kesembilan peserta meluncur dengan cepat. Kecuali gita. Ia tertinggal. Ia tampak kehilangan kepercayaan dirinya.      
                “ayo, gita! Aku menunggu pialamu! Lakukan seperti biasanya kita lakukan!” teriakku dari tepi kolam.
                Entah gita mendengar atau tidak, tapi ia segera menyusul kedelapan perenang lainnya. Dengan cepat ia menyentuh tepi ujung kolam dan segera berbalik, sebelum yang lainnya menyusul. Gita berenang dengan sangat cepat dan indah. Ketika peserta yang lain baru sampai ditengah, gita sudah menyentuh finish. Ia pun memenangkan kejuaraan tahun ini!
                “fy, kamulah yang lebih pantas menerima ini! Tanpa kebaikan dan ketulusanmu untuk membantu diriku, aku tidak akan seperti ini,” kata gita sambil menyerahkan piala dan hadiahnya kepadaku.
                “tidak, git! Aku sudah gembira karena kamu berhasil berubah. Dan asal kamu tahu, perubahanmu itu juga telah membuat diriku jadi berubah. Jadi, kamulah yang sangat pantas menerima piala dan hadiah itu, karena kamu berhasil mengalahkan rasa gugup dan rasa tidak percaya dirimu!” kataku pelan sambil merangkul gita dengan bangga.
                “maafkan aku karena pernah membencimu, gita,” kataku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar