Jumat, 04 Februari 2011

Adikku Satria


                Adikku bernama satria. Satria kelas satu dan aku kelas empat. Usia kami beda tiga tahun dan kami bersekolah di sd yang sama. Wajah kami memang tidak mirip, tapi teman-teman sudah tahu, bahwa satria adalah adikku.
                Belakangan ini, aku merasa sikap adikku itu agak aneh. Sudah tiga hari ini, dia senang sekali mengurung diri didalam kamar. Dan aku yakin sekali, kalau dia tidak sedang belajar. Sebab, satria biasanya tidak mau belajar kalau belum waktunya. Dan waktu dia belajar biasanya malam hari. Aku kadang suka mengingatkan dia bahwa waktu belajar itu tidak hanya malam hari. Siang hari juga bisa kok, seperti yang sering aku lakukan.
                Dan aku yakin, saat mengurung diri didalam kamar, dia tidak sedang  main game. Sebab, biasanya kalau satria sedang main game, suaranya berisik sekali. Dia pasti teriak-teriak sampai kadang aku marah sama dia, karena suaranya mengganggu konsentrasiku saat belajar atau membaca novel.
                “satria, kamu sedang apa?” tanyaku penasaran, sambil mengetuk pintu dan mendengarkan suara satria dari balik pintu. Tapi, sama sekali tidak ada suara dari dalam kamar. Apa mungkin dia sedang tidur?
                Tak lama kemudian, satria membuka pintu kamar dan tersenyum kepadaku. Aku menatapnya dengan heran. Ada apa ya, kok dia senyum-senyum sendiri?
                “kamu kenapa?” tanyaku mendelik. Satria hanya menggeleng, tanpa menjawab sepatah kata pun. Aku kemudian melongokkan kepala kedalam kamarnya. Kamarnya tampak rapi. Ini bukti bahwa satria tidak sedang main game atau belajar.
                Tapi...tiba-tiba mataku menangkap sesuatu diatas bantal tempat tidurnya. Sebuah buku kecil berwarna biru. Buku apa itu? Komik? Atau...jangan-jangan buku orang dewasa? Ihh...anak kecil nggak boleh baca buku untuk orang dewasa! Gawat! Ini tidak bisa dibiarkan.
                Ketika aku memandang buku kecil itu, satria tampak kaget. “bukan apa-apa kok, kak!” ucapnya gugup menjawab keherananku.
                “kamu beli novel baru, ya?” tanyaku ingin tahu. Soalnya, tadi malam dia ikut papa ketoko buku.
                “ng....nggak!” satria menggleng
                “lalu, itu buku apa? Komik, ya?” tanyaku lagi.
                “atau....,” aku mulai menunjukkan kecurigaan
                “bu....bukan!” katanya tetap ngotot.
                Dan ketika aku hendak masuk, karena penasaran ingin melihat buku itu, satria segera menghalangi dengan menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Akupun hanya bisa melonggo didepan pintu. Berulang kali aku meminta satria untuk membukakan pintu, tapi satria tidak menggubrisnya.
                Malam harinya, aku minta bantuan mama untuk menyelidiki buku itu. Soalnya, aku penasaran sekali, sebenarnya buku apa yang sedang dibaca oleh satria sampai aku tidak boleh melihatnya. Jangan-jangan...benar buku orang dewasa. Wah, ini nggak boleh dibiarkan. Makanya, mama harus tahu soal ini.
                “satria, mama nggak suka kamu membaca bacaan orang dewasa!” kata mama mulai mendesak satria ketika kami berkumpul diruang tengah. Satria kaget dengan ucapan mama dan langsung memandangnya dengan heran.
                “satria nggak membaca bacaan orang dewasa kok, ma!” elak satria
                “lantas, satria ngapain mengurung diri didalam kamar?” tanya mama. Aku semakin penasaran. Dan satria nggak tahu kalau aku yang mengadu kepada mama.
                Wajah satria mulai pucat. Orang yang salah memang selalu begitu. Kalau ditanya, nggak bisa menjawab.
                Papa yang duduk disamping mama ikut bertanya sambil menatap wajah satria dengan sorot tajam.
                “satria hanya...” jawab satria ragu-ragu
                Mama, papa, dan aku makin penasaran. Wajah satria sudah pucat pasi, penuh ketakutan.
                “hanya apa satria?” tanya mama dengan nada agak tinggi.
                “satria hanya.....,” lagi-lagi satria ragu. “hanya...sedang belajar menulis buku diary. Satria malu, makanya satria nulisnya didalam kamar. Dan kamarnya satria kunci supaya nggak ada yang lihat,” tuturnya dengan wajah tertunduk.
                Aku, mama, dan papa saling pandang. Lalu, papa dan mama tertawa. Suara tawa mama paling keras
                “kok, nulis diary saja malu?” tanya mama mulai lembut
                “soalnya, yang biasa nulis diary itu cewek ma. Kalau cowok nggak boleh nulis diary. Soalnya, dimana-mana, yang ada juga diary cewek, bukan diary cowok,” kata satria menjelaskan. Wah, aku jadi ingat! Itu adalah kata-kataku yang pernah aku ucapkan kepada satria.
                “ah kamu ini...nulis diary itu boleh dilakukan siapa saja. Cewek atau cowok, nggak masalah. Nulis diary itu kan, sama saja dengan belajar menulis. Siapa tahu, kelak kamu bisa menjadi penulis hebat,” kata mama memberi semangat. “memangnya, siapa sih, yang bilang begitu, sat?”
                Satria menunjukku. Aku hanya bisa meringis sambil memandang wajah mama dan papa.
                “kamu ini afifah, ngajarin yang nggak benar saja,” kata mama.
                Huh, aku sungguh malu. Sudah memberi tahu hal yang keliru kepada satria, malah menduga yang nggak-nggak pula. Aku pun mengulurkan tangan dan meminta maaf kepadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar