“deva, kok nilaimu turun? Mama kecewa sekali, seharusnya kamu mendapat 100 kalau belajar lebih keras lagi. Mulai malam ini, jam belajarmu harus ditambah lagi untuk memperbaiki nilaimu,” keluh mama deva tanpa kompromi.
Deva hanya diam dan menghela nafas. Tanpa sepatah kata pun ia mengambil lembaran kertas ulangan miliknya, lalu pergi kekamar untuk mengurung diri.
“deva, siang ini kamu istirahat setengah jam saja, ya!” seru mamanya lagi.
Deva masuk kekamar, duduk merenung sebentar dipinggir jendela, lalu melemparkan dirinya keatas ranjang. Dibenamkan wajahnya kedalam bantal, lalu mulai menangis sekuat-kuatnya tanpa suara. Mamanya memang tidak pernah puas, begitu juga papanya. Deva sudah bisa menduga, papanya pun akan ikut memarahinya nanti sore sepulang kantor. Begitulah selalu, kalau mamanya marah, papanya juga pasti ikut marah. Tidak peduli apa kesalahan deva.
Mama deva selalu tidak pernah puas kalau menyangkut nilai disekolah. Tidak pernah sekalipun ia memuji, walau deva meraih nilai 100. Menurut mamanya, itu sudah sewajarnya, sehingga tidak perlu dipuji atau diberi hadiah.
Hari ini deva membawa hasil ulangan matematika. Hampir semua temannya mendapat nilai tujuh puluh kebawah. Ulangan kali ini memang sedikit agak sulit. Namun, deva yang sudah mempersiapkan diri dengan belajar keras, bahkan sampai hanya sempat tidur 5 jam, bisa mengerjakan semua soal ulangan itu sambil menutup mata. Sayangnya, karena salah melihat soal, ada jawaban yang salah sehingga ia mendapat nilai 90.
Meskipun demikian, nilainya tetap saja paling tinggi dikelas. Semua teman sampai iri kepadanya. Gurupun memujinya. Tetapi, deva tidak gembira. Ia sedih, karena tahu apa yang menantinya dirumah, yaitu kekecewaan mamanya. Dan, dugaan deva menjadi kenyataan. Hatinya sangat sedih. Benar-benar sedih. Tidak adakah hal yang bisa membuat mama dan papanya memujinya? Setidaknya sekali saja.....
“deva, sudah tiga puluh menit! Ayo bangun!” seru mamanya dari luar kamar
Deva buru-buru menghentikan tangisnya, meskipun dadanya sangat sakit dan ia ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya. Tetapi, itu tidak mungkin dilakukannya. Kalau mamanya sampai tahu ia menangis, maka bukan kata-kata penghiburan yang akan diterimanya, melainkan serangkaian kata-kata menyakitkan yang tidak ingin didengarnya. Deva sudah lelah. Lelah mendengarkan tuntutan demi tuntutan.
Deva bangun dari tempat tidurnya, menghapus air matanya, lalu mengatur wajahnya sedemikian rupa sehingga tak ada ekspresi apapun yang terpancar. Ia mengambil buku dan menyibukkan diri dengan soal-soal matematika. Dengan demikian, ia bisa mengabaikan perasaan sedihnya tanpa seorangpun yang melihat.
“deva!” seru mamanya sambil membuka pintu kamar deva dengan keras, bersiap memarahi anaknya. Namun, deva sudah duduk dimeja belajar dan mulai mengerjakan soal kedua. Mamanya mendengus. “belajar yang benar, ya! Sudah disekolahkan disekolah elit yang mahal, harusnya kamu tahu bagaimana berterima kasih kepada orangtua. Jangan bermalas-malasan,” kata mamany dengan nada menasehati.
Deva mendengarnya dengan sebal, tapi ia diam saja. Ditundukkan wajahnya dalam-dalam. Diam-diam air matanya mengalir.... inilah deva...... si ranking 1 dari kelas VIII B
“deva, aku boleh main kerumahmu nggak? Aku ingin deh, belajar matematika sama kamu. Jadi, kalau ada yang tidak tahu, aku kan bisa langsung tanya sama ahlinya,” kata ozy suatu hari.
Deva hanya tersenyum pahit dan menggelengkan kepalanya. Mamanya pasti marah kalau ia mengajak teman kerumah. Pernah, suatu hari saat kelas VII, ia mengajak debo kerumah untuk belajar bersama. Bukannya senang, mamanya malah marah dan mengusir debo pulang. Sejak itu, debo membencinya dan tidak mau lagi berteman dengan deva, meskipun deva sudah meminta maaf. Sejak saat itu juga, deva benar-benar kapok. Ia berjanji kepada diri sendiri untuk tidak pernah lagi mengajak teman kerumah. Ia juga tidak terlalu akrab lagi dengan teman-temannya, karena benar-benar merasa kehilangan ketika debo tak mau lagi berteman dengannya. Daripada sakit hati dan sedih kehilangan teman, lebih baik tidak usah punya teman sama sekali.
“yahh...kok kamu gitu sih? Masa tidak mau menolong teman sedikitpun? Aku sungguh-sungguh mau belajar, kok,” pinta ozy
“maaf, tidak bisa. Nanti mamaku marah,” kata deva tegas.
“ah, mana mungkin? Mamaku malah senang kalau ada teman yang datang kerumah untuk belajar,” kilah ozy.
“mamaku tidak suka kalau ada teman yang datang kerumah,” jawab deva singkat
“kalau begitu, kamu saja deh, yang datang kerumahku. Mamaku pasti bikin puding coklat dan es buah yang enak buat teman belajar,” rayu ozy
“nggak bisa juga. Mamaku nggak suka aku keluyuran,” jawab deva lagi.
“terserah kalau kamu nggak percaya,” jawab deva ketus. Tak seorangpun yang mengerti dirinya.... tak seorangpun.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar