Jumat, 04 Februari 2011

Maafkan Mama Part 2

                Ujian tinggal sebulan lagi. Deva sibuk sekali dengan les privat dan belajar dilembaga kursus. Tidak ada waktu untuk istirahat, apalagi rekreasi. Satu-satunya kesempatan deva untuk menonton televisi pada hari minggu pagipun direnggut darinya. Papa dan mamanya sudah sepakat tidak menyalakan televisi. Buku-buku cerita hadiah ulang tahunnya pun disimpan dalam lemari yang terkunci rapat. Tidak ada radio atau kaset. Tidak ada acara keluar makan pada akhir pekan. Semuanya dilarang. Mama mengawasinya sepanjang waktu untuk memastikan deva belajar.
            Belajar.....belajar......belajar........
            Bahkan, dalam mimpipun deva merasa sedang belajar. Sering kali pada malam hari deva terbangun berkali-kali dengan panik dan menyambar jam weker untuk memastikan pukul berapa saat itu. Kasihan deva, hidupnya penuh dengan kekhawatiran.
            “deva, ngapain kamu tiduran disitu?” kata mamanya suatu sore.
            “deva nggak enak badan, ma. Kepala pusing, ngantuk berat. Deva tidur sebentar ya, ma?” pinta deva pelan. Lantai terasa seperti bergoyang-goyang dan menari tidak karuan.
            “ah, manja! Ulangan sudah dekat , tahu? Mama nggak mau mendengar alasan macam-macam. Karena kamu biasa banyak tidur, jadi kebiasaan malas. Sudah sana, makan terus belajar lagi!” kata mamanya tidak memedulikan keluhan deva.
            Deva tidak berani berkata apa-apa lagi. Ia berjalan sempoyongan menuju meja makan. Mamanya menyendokkan nasi dan lauk-pauk kepiringnya, namun deva sama sekali tidak berselera makan. Ia terdiam saja memandangi makanan, matanya berat dan terasa perih.
            “ayo makan, jangan bengong saja!” kata mamanya tidak sabaran.
            Deva menyendokkan nasi dan lauk-pauk kedalam mulut dan mengunyahnya tanpa selera. Perutnya terasa mual.
            “makan yang cepat, jangan buang-buang waktu!” bentak mamanya semakin tidak sabaran.
            Deva berusaha sekuat tenaga menelan makanannya. Ia menyendokkan kemulutnya suap demi suap penuh perjuangan. “ma, sudah kenyang. Nggak bisa dipaksa lagi. Sudah ya, ma,” pinta deva dengan suara lemah.
            “ya, sudah! Mama sudah masak capek-capek , nggak dihabiskan. Makan saja lelet. Waktu belajar kamu terbuang, tahu? Sengaja, ya? Sudah sana, cepat belajar!!” bentak mamanya kesal.
            Deva buru-buru masuk kekamar untuk belajar. Perutnya semakin mual dan ingin muntah. Kalau mama tahu ia ingin muntah, nanti dikira tidak suka masakan buatannya. Deva menarik nafas dalam-dalam, menahan rasa mual. Perutnya terasa sakit, namun ia diam saja. Deva berusaha membaca halaman demi halaman bukunya, meski tak satupun kalimat yang masuk keotaknya.
            Tengah malam, deva demam. Perutnya sakit luar biasa. Keringat mengucur deras karena menahan sakit. Sepanjang malam ia berkali-kali kekamar mandi untuk muntah dan buang air besar. Semua isi perutnya terkuras habis. Badannya lemas. Kepala deva pusing bukan kepalang. Ia tidak dapat berdiri tegak. Dengan susah payah, deva berjalan setengah merangkak. Ia mengetuk pintu kamar orangtuanya berulang kali.
            Mamanya keluar dari balik pintu dengan wajah mengantuk. Deva merasa lega.
            “ada apa sih, pagi-pagi buta mengetuk-ngetuk pintu?” tanya mamanya sambil menguap.
            “to....tolong.....ma....” kata deva lalu ambruk tak sadarkan diri.
            “deva? Devaaaaaa!!! Jerit mamanya panik.
            Papanya terbangun dan menghambur keluar. “ada apa, ma? Ya, tuhan. Deva, badannya panas sekali! Kita bawa kerumah sakit sekarang!” kata papanya bergegas mengambil kunci mobil.
            Dirumah sakit, deva langsung masuk unit gawat darurat.
            “untung ibu dan bapak cepat-cepat membawanya kemari. Anak ini sudah nyaris kehabisan cairan tubuh. Kondisinya sudah gawat,” kata dokter jaga.
            Mamanya gemeteran. Baru kali ini ia benar-benar takut kehilangan deva. Selama ini, anak laki-lakinya itu selalu menurut dan patuh. Mamanya teringat, kalau deva memang sudah mengeluh tidak enak badan. Mengapa ia tidak mendengarkan keluhan anaknya? Oh, deva.... jangan pergi!!
            Hasil pemeriksaan dokter sudah keluar. Hari sudah siang. Mamanya masih duduk disamping deva yang belum sadarkan diri.
            “anak ibu terkena tipus dan hepatitis A. Sepertinya ia juga kelelahan dan stres. Apa selama ini tidak kelihatan gejala-gejalanya?” tanya dokter.
            “saya memang terlalu memaksanya belajar, dok. Sampai ia hanya tidur sekitar 5 jam sehari. Saya yang salah,” kata mamanya sambil menangis. Ia betul-betul menyesal.
            “apakah nilai anak ibu ini sangat jelek, sehingga harus belajar sekeras itu?” tanya dokter
            “tidak sih, dok. Dia justru selalu ranking satu. Dia juga anak yang patuh,” kata mamanya menggelengkan kepala.
            “nah, kalau begitu, seharusnya ibu bangga, bukan malah memaksanya belajar sekeras itu. Inilah salah satu akibatnya. Mulai sekarang, berilah dia istirahat yang cukup. Hiburan juga perlu lho, bu!” nasihat dokter.
            Deva menggumam dan membuka matanya perlahan. “mama?” tanyanya lirih.
            “deva! Kamu sadar, nak? Maafkan mama, ya!” kata mamanya, lalu memeluknya erat.
            Deva bingung, tidak percaya. Namun, kehangatan cinta mamanya saat itu langsung mengalir kedalam hatinya. Ia pun membalas pelukan mamanya dan tersenyum. “iya, ma. Deva sayang mama,” jawabnya tulus.
            “mulai sekarang, mama tidak akan lagi memaksamu belajar keras,” kata mamanya pelan.
            “nggak usah khawatir, ma! Deva akan selalu mengusahakan yang terbaik demi mama dan papa, juga demi diri deva sendiri. Mama percaya deva, ya?” jawab deva.
            “ya, mama percaya! Terima kasih, deva,” kata mamanya dengan wajah basah karena air mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar