Minggu, 06 Februari 2011

Kehangatan Keluarga


                “nab, jangan lupa, jumat besok pulang sekolah, main kerumahku, ya!” ajak afifah teman sekelasku.
                “ya, tapi aku harus minta izin orangtuaku dulu,” kataku.
                Baru kali ini afifah mengajkku main kerumahnya. Kebetulan ibu guru memberi tugas untuk membuat sebuah tulisan yang menggambarkan suatu tempat. Untunglah, orangtuaku mengizinkan aku mengerjakan pr dirumah afifah.
                Keesokan harinya, begitu tiba dirumah afifah, aku terpana. Betapa tidak, rumah afifah sangat besar dan penuh dengan perabotan mewah. Dibelakang rumahnya ada sebuah kolam renang yang lumayan besar. Aku jadi kagum pada afifah karena disekolah ia sangat bersahaja, baik, ramah, dan bisa bergaul dengan siapa saja. Ia sama sekali tidak pernah memamerkan atau menyombongkan diri sebagai anak orang berada.
                “ayo, langsung kekamarku!” ajak afifah. Kamarnya ada dilantai 2 dan cukup luas. Selain tempat tidur, dikamarnya ada meja belajar dengan sebuah komputer, lalu disudut ada pesawat televisi 14 inchi dan lemari pakaian, yang semuanya berwarna pink. Setelah ganti baju, ia mengajkku turun untuk makan siang.
                Habis makan, kami mulai mengerjakan tugas. Aku dan afifah mulai berpikir tentang topik apa yang akan kami tulis. Akhirnya, aku memilih topik tentang sebuah perpustakaan yang pernah aku jumpai di stasiun kereta api bogor. Sedangkan afifah akan menulis tentang kapal pesiar yang baru saja ia tumpangi saat liburan kemarin. Kami pun mulai menulis dikertas biasa. Setelah dikoreksi sama-sama, lalu kami ketik dengan komputer. Menjelang sore, aku pun pamit pulang.
                “ayo, aku antar kamu pulang, sekalian aku ingin main kerumahmu,” kata afifah yang segera minta tolong supir keluarganya untuk mengantar kami.
                “apa? Kamu mau main kerumahku?” kataku seakan tidak percaya. Sebenarnya dalam hati aku malu dan merasa minder, karena rumahku kecil. Apa yang bisa aku banggakan dan pamerkan dirumahku?
                “iya, gantian aku dong, yang main kerumahmu! Boleh, kan?” tanya afifah
                “eh, iya...boleh, boleh!” balasku agak ragu. “oh iya, dimana mama dan kakak-kakakmu?” tanyaku ketika melihat foto keluarga afifah yang sangat besar, yang terpasang diruang keluarga.
                “mama dan papa kerja, dan kedua kakakku sekolah diluar negeri. Tinggal aku sendiri dirumah. Oleh karena itu, mama menyuruhku mengikuti berbagai les. Dari senin sampai kamis, ada les pelajaran sekolah, les sempoa, les bahasa mandarin, les bahasa inggris, kecuali jum’at kosong tidak ada les. Dan hari sabtu les renang. Pokoknya, hari-hariku penuh dengan kegiatan les. Tapi, aku senang, karena aku jadi tidak kesepian dirumah,” tutur afifah.
                Sesampainya dirumahku, kami disambut oleh mama dan papaku yang kebetulan sedang cuti kerja.
                “wah, sudah selesai tugas sekolahnya?” tanya mamaku sambil memeluk dan menciumku.
                “sudah, ma! Oh ya, ma, pa, ini teman sekelas nabila, namanya afifah,” kataku memperkenalkan afifah kepada kedua orangtuaku.
                “hai, afifah, mari masuk!” sambut mamaku ramah.
                Tanpa rasa canggung, afifah masuk dan duduk diruang tamu yang tidak begitu luas.
                “nabila, ayo bantu mama masak!” pinta mamaku. Seperti biasa, setiap memasak didapur, mama selalu memintaku untuk membantunya. Selain karena kami tidak mempunyai pembantu, aku pun paham tujuan mama sebetulnya supaya aku kelak menjadi anak cewek yang bisa memasak.
                “ayo ifah, kita belajar memasak,” kataku pada afifah.
                “aduh maaf, aku tidak bisa memasak. Ajari aku, ya!” kata afifah malu-malu.
                Aku dan afifah mulai mengerjakan tugas yang disuruh mama. Afifah mengiris bawang merah sampai air matanya keluar. Aku tertawa melihat dia seperti orang menangis. Mamaku lalu memberi tahu cara mengiris bawang agar tidak pedih dimata. Tidak lama kemudian, makanan yang kami masak sudah matang.
                “ayo, sekarang gantian kamu yang makan dirumahku,” kataku setengah memaksa. Afifah akhirnya menyerah. Aku, afifah, mama, dan papaku makan bersama.
                “kita cicipi masakannya afifah,” kataku sambil melirik kearah afifah yang tampak tersipu.
                “hmmmm.......enak!” puji papaku
                “wah, ternyata afifah pandai memasak juga, ya!” ujar mamaku.
                “terima kasih, om, tante! Afifah senang bisa belajar memasak disini. Afifah jadi betah main disini. Afifah benar-benar merasakan adanya kehangatan dalam keluarga nabila. Kehangatan yang tidak afifah dapatkan dalam keluarga afifah. Jarang sekali afifah bertemu dengan mama dan papa, apalagi bisa masak bersama seperti nabila dengan tante. Afifah sungguh iri, tante!” ucap afifah sedih. “kapan-kapan, afifah boleh main kesini lagi kan, tante? Afifah mau belajar masak lagi,” lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.
                “oh, boleh...boleh! kapan saja afifah mau, silakan datang,” kata mamaku.
                Aku sangat terharu dengan penuturan afifah. Kasihan sekali dia, hidup dalam segala kemewahan dan fasilitas lengkap, yang bisa membuat orang berdecak kagum dan iri, namun ternyata itu kurang membuatnya bahagia. Ia merindukan kehangatan keluarga.
                Penuturan afifah tadi juga telah menyadarkan aku untuk bersyukur, karena mempunyai orangtua yang selalu berada disisiku setiap aku membutuhkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar