Shilla berjalan menuju pintu belakang istana yang akan membawanya menuju gerbang dan pulang. Kali ini langkahnya terasa berat, ia tahu, anak lelakinya tak akan lagi menunggu dirumah dan memijat punggungnya. Bahkan, siang tadi, ia merasakan sebuah firasat buruk tentang Ray.
***
Pukul enam pagi keesokan harinya, Sivia, Shilla, serta beberapa pengawalnya siap berangkat dari Hinkal. Setelah mencium kening anak-anaknya dan mendapat persetujuan dari Gabriel, Sivia berangkat. Ia berbohong pada Gabreil tentang tujuannya, mereka bilang akan pergi ke sebuah ladang pertanian dekat Hinkal untuk mengamati perkembangan ladang. Sivia selalu berbohong tentang keberadaan Alvin dan kampnya, bahkan suaminya tidak mengetahui bahwa ia mempunyai indra keenam, yang membuatnya bisa mengetahui kejadian yang akan datang.
Dengan mengendarai sebuah kereta kuda yang mewah dihiasi ukiran emas dan kursi busa berlapis kulit pilihan, mereka keluar dari Hinkal. Mereka akan menempuh kurang lebih dua jam perjalanan. Shilla yang duduk disebelah Sivia mulai resah.
Apakah aku harus memberitahunya, ia bertanya-tanya dalam hati. Apakah ia akan marah?
Sampai detik ini Shilla belum memberitahu permaisuri Sivia tentang Ray. Ia memandang wajah cantik Sivia yang kini disinari cahaya pagi. Namun Shilla masih belum mengatakannya. Bibirnya terasa selalu menutup dan melarangnya berkata-kata.
Pandangannya terpaku melihat pepohonan yang dilaluinya. Pikirannya mencemaskan anak tunnggalnya. Kenangan pahit karena ditinggal ayah dan suami melekat dibenaknya. Kemudian ia tersenyum, betapa berarti keluarganya bagi Stars.
“permaisuri, ada yang ingin kusampaikan,” ujar Shilla lembut.
Tak lama kemudian kereta kudanya berhenti.
“nanti saja Shilla, sekarang kita harus menemui Alvin terlebih dahulu!” jawab Sivia pendek, lalu turun dari kereta kudanya.
***
Alvin dan Debo berdiri tegap memimpin barisan pasukan kereta kuda permaisuri memasuki kamp. Mereka serentak berlutut hormat ketika permaisuri Sivia membuka pintu dan turun dari kereta kudanya. Mereka baru berdiri ketika sang permaisuri meminta mereka berdiri. Alvin dan Debo mencium tangan Sivia sebagai sambutan ramah dari mereka.
Kemudian mempersilakan permaisuri berjalan menuju tengah kamp. Mereka telah menyiapkan sebuah meja besar yang sekelilingnya dihiasi bunga-bunga.
Sivia duduk dikursi utama. Tak lama kemudian datang beberapa orang yang membawa buah-buanhan dan sebotol anggur.
“maaf, tapi hanya ini yang bisa kami sajikan, yang mulia,” kata Alvin
“justru ini adalah sajian favoritku. Kau bisa tanya Shilla,” jawab Sivia sambil mengambil sebuah jeruk kemudian mengupasnya. “aku ingin bertemu dengan Cardan baru kita dan....mmmm....kemana jendral kesayanganku?”
Alvin terdiam, kemudian menatap Shilla yang duduk disebelah sang permaisuri. “Deva kemarin cedera sewaktu menangkap hewan tempur kami.” Alvin kembali menghentikan penjelasannya sebentar karena sang permaisuri memandangnya serius. “dan Cardan baru kita pun ikut cedera karena membantu Deva. Sekarang mereka sedang dalam perawatan intensif ditenda medis kami.” Alvin memandang Shilla. “maafkan kamu, Shilla”
Mendengar hal itu, Shilla terkejut lalu menoleh ke arah Debo.
“dimana tenda medis itu?” sela Shilla sedikit lantang. Debo menunjuk kesebuah tenda besar yang berada belasan meter disebelah kanannya. Shilla langsung berlari kesana.
Sivia sedikit mengernyitkan alis ketika Shilla meninggalkannya tanpa permisi. “kenapa Shilla begitu terkejut, dan mengapa kau meminta maaf kepadanya?”
“apakah ia belum menceritakannya?” tanya Alvin kaget.
“Cardan baru itu adalah putranya Shilla.”
Sivia menelan ludah. Ia tidak menyangka bahwa telah lahir satu calon pahlawan lagi dari keluarga Shilla. Padahal ia tahu, semenjak suaminya meninggal, Shilla menginginkan keluarganya hidup tenang tanpa mengenal perang lagi. Bahkan minggu lalu, Shilla menceritakan rencananya untuk memasukan anaknya ke sebuah universitas di Stars. Ia pasti sedih dan gundah, pikirnya.
Kemudian Sivia mencoba mengingat rupa anak Shilla. Sivia sudah lupa, karena sudah tiga belas tahun tidak bertemu. Terakhir, Shilla membawanya ke istana ketika usianya lima tahun. Seorang anak pemalu dan pendiam, ingatnya. Dulu ia suka berada ditaman istana bersama Ozy dan Acha. Anak itu sulit membaur dan hampir tidak pernah benar-benar bermain bersama kedua anaknya. Anak itu hanya duduk dan memandang langit. Ya, itu kebiasaannya. Anak itu pasti sudah tak mengenalku, pikir Sivia. Ia lalu berdiri.
***
Deva, Ray, Edgar, dan Nico masih belumboleh turun dari ranjang. Tubuh mereka membutuhkan istirahat. Banyak sekali luka memar dan perban ditubuh mereka. Para ahli medis dan penyihir selalu mengawasi perkembangan mereka setiap saat. Bahkan Gita sudah semalaman mengompres punggung tangan Deva yang bengkak. Sebenarnya, Deva, Ray, Edgar, Nico, serta Gita telah sadarkan diri, bahkan keempatnya sudah bercakap-cakap ringan walau masih terbaring diranjang.
Tiba-tiba Shilla masuk kedalam tenda dan menoleh kanan-kiri, mencari Ray. Matanya langsung berair ketika melihat Ray sedang terbaring diranjang ketiga, dengan dada penuh perban dan mata kiri yang lebam. Ray menyambutnya dengan senyum kecil. Shilla meletakkan jemarinya dibibir Ray ketika Ray hendak menyapanya.
“sudah, nak. Simpan dulu tenagamu!” ujar shilla disertai beberapa isakan kecil. “maafkan ibu!”
Mendengar perkataan ibunya, Ray menggelengkan kepala. Ia tahu bahwa ini adalah pilihannya. Ia senang bisa mengalami pertarungan dalam beberapa hari ini. Pertarungan yang sangat penting baginya.
Ibunya pernah bilang, kini dunia membutuhkan seorang ilmuwan, “dan itu yang uharapkan darimu,” ujar Shilla waktu itu. Namun Ray tidak mau menghabiskan hidupnya sebagai ilmuwan. Ia sangat mengagumi sosok ayahnya dan ingin menjadi seorang jendaral perang seperti ayahnya.
Ray tahu kejadian kemarin adalah sebuah berkah besar baginya. Kini ibunya sudah tidak dapat lagi melarangnya untuk melajar bela diri dan menjadi seorang ksatria. Sekarang banyak orang yang menaruh harapan besar kepadanya, dan ia belum tahu apa yang sebenarnya harus ia hadapi.
Sesaat kemudian, Alvin masuk dan duduk disisi ranjang Ray.
“ia anak yang sangat kuat. Ia akan segera pulih, Shilla.”
Shilla masih membelai rambut Ray dengan lembut. Sorot matanya menunjukkan bahwa ia belum merelakan Ray menjadi sesuatu yang sangat tidak ia inginkan. Namun, dalam benaknya ia sangat bangga kepada anaknya. Usianya baru dua puluh tahun, tapi sudah terpilih menjadi Cardan. Sebenarnya, ia sudah tahu bahwa anaknya akan menjadi seseorang yang sangat special karena saat ia lahir, cahaya bintang Sanggu sangat terang dan mengalahkan cahaya dua bintang lain. Joan dan colt hampir tidak terlihat. Tubuh ray diselimuti cahaya merah dan beberapa peramal datang untuk memberi bayi kecilnya penghormatan. Bahkan, waktu itu Gabriel dan Sivia langsung mencium Ray. “inilah anak dari pahlawan kita!” sambut mereka.
***
Shilla berdiri disisi tebing disekitar kamp, memandang hutan Dio yang terlihat jelas dari sana. Pikirannya tertuju ke ayah dan suaminya. Apakah ini takdirku? Pikirnya sambil memandang langit. Kerudung ungunya hampir terbang tertiup angin. Sudah sekitar setengah jam ia berada disana, dan ia sempat meneteskan air mata. Matanya tertutup ketika angin dingin datang bertiup ke wajahnya. Aku bangga kepada mereka semua, pikirnya.
Tak lama kemudian permaisuri Sivia menghampirinya, berdiri disamping kanan dan menggenggam tangannya. Rambut panjangnya terurai bergelombang tertiup angin. Wajahnya yang putih terangkat menghadap angkasa. “ia dapat mengalahkan mereka,” ujarnya pendek pada Shilla.
Shilla menyentuh liontin pernikahannya. “Ray,” gumamnya pelan. “dua lelaki yang sangat kucintai.”
Mendengar itu, Sivia menoleh dan menatap lembut. “ya, Ray. Dua lelaki yang pernah dan sedang sangat dibutuhkan Garinka.” Ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutup wajahnya karena tertiup angin. “anakmu akan baik-baik saja. Benakku mengatakan jalannya masih panjang. Jadi, kau tidak perlu khawatir kehilangannya.”
“aku sudah pernah merasakan kehilangan,” jawab Shilla pendek. “kini, ia bukan milikku seorang. Tapi milik seluruh negeri.”
Sang permaisuri semakin erat menggenggam tangan pelayan sekaligus sahabatnya itu. Ia tidak ingin lagi mengeluarkan kata-kata. Shilla butuh ketenangan. Ia akan hanya berada disisinya, menemaninya memandang langit dan merasakan angin siang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar