Sabtu, 02 April 2011

Sakura Mekar Dipadang Salju



“deva!”
               Deva menoleh kearah datangnya suara. Ternyata Ray, sahabatnya.
“hai, ray. Ada apa?” deva menjawab dingin
“sudah berapa hari iniaku mencoba menghubungimu. Kemana saja?” sahut ray dengan khawatir
“ah...tidak kemana-mana kok. Dirumah saja”
“tapi aku sudah mencoba menelpon kerumahmu. Tidak ada yang mengangkat” desak ray.
               Namun deva tak bereaksi, ia berlalu tanpa menatap sahabatnya.
               Kaget melihat reaksi itu, ray bergegas menyusul dan menjejeri langkah deva. Dalam diam, mereka mengayunkan langkah meninggalkan kampus.
“maaf, ray. Aku harus mampir kesuatu tempat. Sampai jumpa, ya” deva seperti mengelak ditemani ray.
“kalau ada apa-apa langsung telepon aku, ya” jawab ray sambil melambaikan tangannya. Tanpa suara, deva menjawab dengan anggukan lemah.
“hmmmm.....ada apa ya dengan deva?” batin ray bertanya-tanya.
               Tiga hari berlalu setelah pertemuan ray dengan deva di kampus. Dan hari ini pun deva belum menunjukkan batang hidungnya. Sudah tiga hari ini ray menunggunya. “coba kutanyakan pada teman sekelasnya" putus ray akhirnya.
“ngg, maaf. Deva hari ini masuk?”
“nggak tuh, kayaknya hari ini juga dia tidak masuk” jawab orang yang ditanyai
“oh, begitu ya. Makasih ya” ray pun berlalu menuju rumah deva.
***
               Alunan bel dibiarkan berlalu. Deva tidak sedikit pun menyahutnya. Rasa malas membuat keke enggan beranjak dari depan pemanas ruangan, yang memberikan kehangatan. Bukan saja menghangatkan badan letih, tapi juga hatinya yang dulu sedingin salju. Kini, dia temukan cinta yang hangat, cinta yang selama ini dicari hampir disetiap sudut relung hatinya. Bahkan, dicari-cari dalam tiap remang malam waktu yang dilaluinya.
               Ini bermula ketika deva mendengar suara seorang perempuan sedang membaca tulisan-tulisan yang ada dibuku tebal itu. Tulisan itu tak pernah dilihatnya sebelumnya dan sungguh sangat indah  menawan hati. Deva melihatnya ketika mampir ke asrama mahasiswa asing temannya yang bernama ozy. Sejak itu hatinya salalu terpaut dengan buku tebal itu. Ya, dengan alqur’an, hatinya telah terpaut.
               Tetapi rupanya orang yang memencet-mencet bel itu tak punya kesabaran untuk menunggu. Dengan malas deva bangkit berjalan.
“ya, ada pa?”
“saya gabriel pangemanan, saya membawa pesan dari ayah anda”
               Mendengar suara tegas dari balik interphone. Deva bergegas meletakkan interphone dan membukakan pintu.
“ini pesan ayah anda” kata keke sambil menyerahkan secarik kertas.
               Deva masih berdiri didepan pintu melihat keke berlalu dengan mobil hitamnya.
               Lalu bergegas masuk kedalam rumah. Tertera pesan ayahnya
“ayah ingin bicara datanglah”
               Singkat, padat, dan jelas
“duh...kenapa, sih? Ternyata ngasih tahu lewat telepon nggak sah, yah....” gumam deva menduga-duga.
***
“keluaaaaarrrrrr! Keluar kau dari rumah ini! Jangan injakan kakimu dirumah ini lagi! Kau bukan anakku lagi!” teriak ayah
               Braak!...terdengar hantaman tangannya dimeja kayu
               Deva terisak menahan kepedihan hati. Tak pernah deva melihat ayahnya marah sedemikian rupa sampai tubuhnya bergetar menahan gejolak jiwa.
“ya, Allah. Lembutkanlah hati ayahku hingga ia mau menerimaku sebagai anaknya lagi.” Lirih deva berkata didalam hati.
               Terdengar suara langkah kaki mendekati pintu kamar deva. Berhenti dan melangkah lagi. Ada keraguan yang jelas dirasakan deva.
“ah...mungkin ibu ingin menemuiku” pikir deva
“tapi merasa serba salah” batin deva pula.
               Akhirnya ketukan pelan terdengar dipintu kamar deva.
“deva, boleh ibu masuk? Ada yang ingin ibu bicarakan”
“masuklah, bu. Deva sedang mengepak  barang-barang nih” deva berbicara dengan nada biasa agar tidak membuat ibunya khawatir. Deva ingin menunjukkan kalau ia tegar dan tidak akan  goyah dengan pendiriannya.
“eah...sudah lama sekali ya kita tidak ngobrol. Bagaimana dengan kuliahmu? Oh iya, beberapa waktu yang lalu, temanmu yang bernama raynald prasetya datang kesini dan menanyakanmu” lanjut ibu sesantai mungkin. Sebenarnya deva bisa merasakan kegelisahan ibunya yang berusaha ditutupi.
“sudahlah, bu. Deva tidak apa-apa. Jangan khawatir begitu, lagipula deva punya tempat yang dituju. Tenang saja, ya” hibur deva
               Wajah ibu deva terlihat kelam dengan ketidak berdayaan disatu sisi, ia begitu sayang pada putra tunggalnya, tapi disisi lain ia juga sangat menghormati suaminya. Sambil duduk disebelah putranya, ia pun berkata dengan pelan.
“jaga diri baik-baik. Hati-hati, ya” deva memeluk ibunya erat sebagai jawaban.
               Dari dalam saku baju, ibu deva mengeluarkan sebuah amplop.
“pakailah ini untuk keperluanmu, deva” ibu menyodorkan amplop yang berisi uang tersebut ke hadapan deva.
“ibu, deva bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Deva kerja sambilan dirumah makan sushi”
Ditengah deras hujan salju, deva menyeret kopernya meninggalkan rumah orangtuanya.
***
“yooo!” sapa ray dan langsung menduduki kursi didepan counter
               Seperti kebiasaannya kalau mampir ketempat kerja deva. Ray lebih memilih duduk disana daripada duduk dikursi sushi-nya yang berputar seperti rolet. Dengan duduk didepan counter, dia leluasa memesan jenis sushi kesenangannya tanpa harus menunggu piring sushinya berhenti berputar tepat didepan batang hidungnya.
“hei...kali ini mau menghabiskan berapa piring, heh?” tanya deva bernada tantangan
“hemmm, kebetulan perutku kosong berat nih. Tadi siang Cuma diisi seiris sandwich telur. Jadi...bisa puluhan nih” sahut ray menanggapi tantangan deva
“coba deh makan hamaguri. Siapa tahu tiba-tiba sang putri nongol dibelakangmu tuh” promo deva pula.
“ogah ah. Buktinya aku selalu makan katsuo, nggak terus-terusan memang, kan?” ray balik menyerang
“ah, kamu ada-ada saja.....”kata deva sambil menyunggingkan senyumannya
“ah...sudahlah. susah kalo ngomong sama ahlinya sushi. Sampai makan apa juga ada artinya.” Berengut ray lalu memasukkan sushi katsuo kedalam mulutnya. Deva melirik sekilas ketumpukan piring yang menggunung.
“lah, iya dong. Mesti tahu juga dong sushi sushi no kotoba hehe...” kata deva dengan senag sambil berlalu. Diapun menghampiri tamu yang baru saja masuk. Dan mengantarkan tamunya ke kursi yang kosong tepat disebelah kanan ray.
               Tanpa sepengetahuan deva, ray memperhatikan gerak-gerik dan raut wajahnya.
“akh...syukurlah. deva sudah kembali ceria sepulang dari rumah orangtuanya” kata ray dalam hati
               Ray mengetahui tentang masuk islamnya deva dari ozy, teman sefakultas deva. Terjawab sudah asal-muasal sulitnya deva dihubungi beberapa waktu lalu. Apalagi dimalam waktu pintu rumahnya diketuk dan ray melihat sendiri kedalam deva yang basah kuyup dalam balutan baju tebal dan syal yang dimaksudkan untuk menutupi kepalanya. Masih terbayang dibenak ray bagaimana rapuhnya deva saat itu. Matanya sembab dan tak ada binar yang biasa menghiasinya. Sorot mata yang terluka. Waktu itu memang sedang turun salju di bulan desember.
***
               Tiba-tiba interphone terdengar bunyi,”haik....” deva segera mengangkatnya.
“assalamu’alaikum, deva”
“wa’alaikumsalam. Tunggu sebenatar ya, ozy. Deva segera buka pintunya”
               Deva hampir saja menjatuhkan interphone sebelum menggantungkannya di dinding. Dengan bergegas deva membukakan pintu untuk ozy dan memeluknya erat sambil mencium pipi kanan kirinya.
“ayo, masuk. Mantelnya deva gantung disini ya” kata deva sembari mengambil baju tebal ozy dan menggantungkannya.
“kebetulan barusan bikin kopi. Kita minum kopi yah” deva lalu mengambil cangkir dan menuangkan kopi dari coffe maker.
“terima kasih, deva”  ozy menerima secangkir kopi yang mengepul dari tangan keke dan mengambil sebungkus gula dari tempatnya.
               Sambil mengaduk kopinya, ozy berusaha membuka percakapan.
“ngg...ayah dan ibu deva, sehat?” tanya ozy hati-hati.
               Deva tiba-tiba terdiam dari aktivitasnya dan mematung sekian detik
“sehat”jawab deva pendek.
               Ozy sadar kalau ia telah menanyakan hal yang tidak mengenakkan hati deva. Tetapi, bagaimanapun ozy perlu membicarakannya.
“maaf. Saya bisa mengerti dengan keadaan deva. Masih ingat dengan cerita Nabi Nuh, bukan? Kita tak bisa memaksakan orang-orang yang kita kasihi untuk mengikuti kita, merasakan kenikmatan, dan ketenangan dalam naungan islam. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa semoga hidayah yang deva dapatkan, juga bisa mereka dapatkan” ozy menyudahi kata-katanya sambil meraih dan menggengam tangan deva dengan hangat.
               Dia berharap bisa menenagkan hati deva dan menahan bulir-bulir air mata yang mulai jatuh menuruni pipi deva yang putih mulus. Ozy ikut terharu menyaksikan keadaan yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Deva yang biasanya ceria dan sopan tak pernah menunjukkan emosinya sedikitpuun.
***
“selamat datang” tiba-tiba  sosok ibunya telah berdiri didepan deva.
“saya pulang. Syukurlah, ibu kelihatan sehat”
               Tiga bulan berlalu sejak pertengkaran hebat dengan ayahnya. Saat deva memberitahu orangtuanya bahwa ia telah masuk islam.
               Dan kemarin deva memberitahu ibunya kalau dia akan datang kerumah.
“bagaimana kabar ayah, bu?”
“ayahmu ada diruang baca. Sejak engkau meninggalkan rumah ini, ayah selalu mengurung diri dikamar itu. Ibu juga tidak tahu, apa saja yang dilakukan ayahmu disitu. Temuilah ayah, deva” pinta ibu
“iya, bu. Memang deva ingin berbicara dengan ayah” kata deva. Sebenarnya deva amat sayang pada ayahnya, demikian pula sebaliknya.
               Sebagai anak tunggal dia merupakan tempat curahan kasih sayang ayah dan ibunya. Dialah anak yang teramat sangat diharapkan dalam waktu yang lama. Ya, keke lahir setelah usia perkawinan ayah ibunya hampir menginjak tujuh tahun.
               Menyusuri lorong dalam rumahnya yang memanjang kebelakang, deva melewati kamar tamu, kamarnya, dan kamar ayah ibunya. Keadaan rumah ini tak berbeda jauh sejak ditinggalkannya.
“ayah...!” panggil deva pelan. Ayahnya hanya menolehkan kepalanya sekilas dan kembali menekuni buku yang sedang dibacanya.
               Mendapat sambutan dingin dari ayahnya, deva berjalan mendekat dan duduk dikursi tepat didepan ayahnya. Kalau melihat gelagat ayahnya, deva tahu ia punya peluang untuk berbicara panjang lebar.
“anu...ng...ayah sehat?” aduh, kenapa jadi grogi gini, sih. Deva membatin
“seperti yang kau lihat” tiba-tiba terdengar suara ayahnya menjawab. Bukan kepalang bahagianya deva.
“ayah, deva minta maaf datang tiba-tiba”
               Ayahnya diam dan meletakkan buku yang tengah dibacnya. Wah, ini tanda kalau ayahnya siap untuk mendengarkan kata-kata deva.
“terus apa yang ingin kamu bicarakan?” tanya ayah
“deva hanya ingin meluruskan pembicaraan kita tempo hari. Deva ingin ayah bisa mengerti dengan pilihan deva”
“yang ayah tidak mengerti adalah kenapa kamu memilih islam!” suara ayah mulai meninggi” kamu tahukan islam itu teroris!”
               Deva berusaha keras agar tidak terpancing emosi dengan membalas teriakan ayahnya seperti yang lalu. Kali ini deva berbicara dengan tenang, teratur, dan dengan suara yang datar.
“ayah. Bagaimana bisa ayah ayah menyimpulkan kalau islam itu teroris? Islam itu agama yang damai, ayah. Bagaimana mungkin islam disebut agamanya teroris, sedangkan negeri-negeri islamlah yang selalu diserang, ayah?” tanya deva
“apakah orang yang beragama islam tak punya hak mempertahankan agama, harga diri, keluarga, dan negaranya kala para penyerang berbuat semena-mena kepada mereka?” lanjut deva
“tetapi banyak peristiwa-peristiwa pembunuhan dan pengeboman yang diberitakan di TV selalu dibuat oleh para teroris yang katanya beragama islam” balas ayah
“ayah. Masa ayah hanya dengan melihat mengetahui tentang islam dari TV bisa membuat kesimpulan kalau islam itu agama buruk dan sarangnya teroris?” deva makin tenang mengemukakan argumennya kepada ayahnya.
               Lama ayahnya terdiam. Sepertinya beliau memikirkan kata demi kata yang dilontarkan deva.
“ah, ayah. Semoga engkau bisa memahami pilihanku” do’a deva dalam hati
Ayahnya berdiri dan menuju jendela besar yang memantulkan sinat mentari sore yang berwarna masih kuncup memantulkan keelokan pahatan penciptanya.
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar