Senin, 11 April 2011

Cardan Part 1

Langit malam ini sangat indah, ketiga bintang yang selalu menerangi malam memancarkan cahay berbeda, warna putih, merah, dan biru. Para leluhur menamakan bintang putih Joan, Sanggu untuk bintang merah, dan Colt untuk bintang yang berwarna biru. Mereka menganggap bintang-bintang tersebut sebagai lambang tiga elemen, yaitu udara, api, dan air.
          Di daratan ini terdapat sebuah kerajaan bernama Stars. Sebuah kerajaan kecil dengan letak strategis, tepat ditengah-tengah Garinka. Stars adalah kerajaan transit bagi para pedagang dari seluruh pelosok Garinka. Tak heran, hal ini membuat Stars menjadi sebuah kerajaan yang cukup makmur. Dan karena itu juga, Stars menjadi kerajaan terbesar di Garinka.
          Namun, dibalik semua kelebihannya, Stars sedang mengalami peperangan. Sebuah perang besar antara Stars dan Moon, perang antara dua kerajaan yang sudah saling bermusuhan sejak ratusan tahun lalu. Mereka menamakannya perang Zonega (disebut perang zonega karena mereka berperang disebuah padang luas bernama zonega dipinggiran barat wilayah Stars)
          Seorang jendral perang Stars sudah banyak memenangkan perang namun ia belum pernah melawan ribuan pasukan yang begitu membabi buta. Sepertinya, bagi pasukan itu membunuh seorang Stars merupakan hal terindah dalam hidup, sebuah mimpi yang ditanamkan dari kecil oleh orangtua mereka. Pedang jendral Stars sudah berlumuran darah, entah berapa banyak nyawa yang telah dicabut dengan pedang itu. Banyak mayat tergeletak dikanan-kirinya, dari pihaknya maupun musuh.
***
          Ia berlari menuju kawannya yang terluka karena terkena busur panah dikaki kirinya. Ia memeluk lalu membaringkan tubuh kawannya diatas tanah, berteriak marah kemudian kembali membantai sekitar sepuluh pasukan musuh disekitarnya. Jendral Stars itu ahli dalam pertarungan jarak dekat, bakat yag digalinya semasa berlatih di akademi perang.
          Ia kembali melihat kawannya terluka. Bagaimana Cardan sepertinya bisa begitu lemah, sedangkan aku..., pikirnya sambil memeriksa luka kawannya. Sifatnya memang pencemburu, meskipun pangkatnya cukup tinggi ia masih saja ingin menjadi seorang Cardan. Status yang dari dulu ia idamkan dan nantikan. Sebenarnya ia tahu benar bahwa untuk menjadi seorang cardan, ia harus dipilih oleh langit.
          Kini cemburunya semakin memuncak, ia berdiri dan menghujat langit. Tak lama kemudian terdengar suara yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri.


“doamu telah terkabul, kini kau telah menjadi lebih dari sekedar cardan. Mulai sekarang, kau milikku.”


Dua puluh tahun kemudian....


          Daun-daun pinus basah karena embun, tupai pun enggan untuk keluar dari lubangnya hari ini. Musim dingin semakin mendekat dan sudah mengabarkan kedatangannya. Udara pagi itu terasa menggigit dan berangin.
          Disebuah rumah kayu, disebuah desa pinggiran kota, tertidurlah seorang anak muda bertubuh tegap dengan rambut coklat. Dua puluh tahun ia menjalani hidup dan mendengar kehebatan ayahnya, namun tak pernah tahu seperti apa ayahnya. Ayahnya hilang dan dinyatakan tewas dalam perang Zonega, saat ia masih dalam kandungan ibunya. Walau ayahnya seorang pahlawan, ibunya tetap bekerja sebagai pelayan di istana dan menolak semua tawaran kerajaan untuk menjadi bangsawan. Sekarang, anak muda bernama Ray itu hanya seorang pemetik buah anggur.
          Ray terbangun oleh suara burung-burung pipit yang menyanyikan lagu pagi. Setelah beranjak dari ranjang, ia melihat roti gandum buatan ibunya sudah tersedia dimeja kamarnya. Ray tahu, ibunya pasti sudah berangkat kerja karena seorang pelayan istana hanya mempunyai waktu lima jam berada dirumah. itu pun pada malam hari. Ia terperanjat, baru sadar bahwa ia harus mengambil pesanan sebuah pelana kuda untuk Duta, majikan sekaligus pamannya. Segera ia memakai mantel, menyimpan rotinya di saku, kemudian bergegas menuju pasar.
          Anak muda ini mempunyai kecepatan seperti seekor singa, berlari melewati beberapa bukit dan pedesaan. Hanya dalam waktu satu jam ia sudah sampai di Hinkal. Ray berhenti digerbang kota, sejenak memandangi hiruk-pikuk kota pagi hari.
          Di bagian barat kota, beberapa puluh meter setelah gerbang, terdapat pasar induk yang sesak oleh pedagang dan pembeli dari seluruh penjuru Garinka. Disebelah timur terdapat rumah-rumah kaum bangsawan dan anggota pasukan kehormatan kerajaan.
          Mata Ray beralih ke utara, kemegahan Istana Stars selalu menyita perhatiannya. Disana, keluarga raja Gabriel tinggal bersama permaisuri dan pegawai istana yang sebagian besar jarang sekali menginjakkan kaki diluar istana. Waktu kecil, ibu Ray sering bercerita tentang betapa indahnya istana Stars. Dindingnya dihiasi berbagai lukisan karya pelukis kenamaan. Permadani didatangkan dari negeri jauh diluar Garinka, dan harum melati bercampur mawar selalu semerbak dari taman sampai kedalam istana.
          Ingat akan tujuannya, Ray melanjutkan perjalanan. Sebelum sampai gerbang pasar, ia terhambat oleh tangan-tangan pedagang yang berdesakan menawarkan dagangan mereka. Dipintu gerbang pasar, ia terhenti oleh seorang nenek tua dengan gigi emas. Nenek itu mendorong anak kecil berwajah kumal untuk mengemis kepada Ray. Ray mengambil roti disakunya untuk memberikan kepada anak itu.
“terima kasih, Ray si anak Sanggu!” ujar anak itu sambil menerima roti dari tangannya.
          Ia terkejut. Dari mana dia tahu namaku? Apa itu anak Sanggu? Pikirnya.
          Belum sempat ia bertanya, tiba-tiba Ray terjatuh oleh dorongan para prajurit istana yang sedang membuka jalan, sehingga ia kehilangan anak kecil tadi.
          Terdengar bunyi terompet kerajaan dengan suaranya yang khas, menandakan bahwa ada keluarga kerajaan yang akan lewat. Dengan perasaan kesal, Ray berdiri mengangkat kepalanya.
“putri acha! Putri acha!” teriak orang-orang disekitar Ray sambil menunduk hormat. Larissa Safanah Arif, putri tunggal kerajaan Stars. Salah satu pewaris tahta Stars.
          Sambil berdesakan, Ray berhasil mencapai barisan pertama orang-orang itu dan turut serta melihat putri mahkota. Ray berdiri tepat didepan jendela tandu yang diangkat oleh empat pria besar. Ketika tandu putri mulai diangkat, sang putri membuka jendelanya sehingga dia melihat Ray. Bak seorang dewi, ia tersenyum pada Ray. Bagi seorang rakyat kecil seperti Ray, bertatapan langsung dengan sepasang mata biru milik seorang putri merupakan kejadian yang sangat jarang dialaminya.
          Ray hanya terdiam dan melihat rombongan kerajaan hilang menjauh, terhalangi oleh banyaknya orang yang mengikuti kereta kuda tersebut. Tak lama ia tersadar dari lamunannya, kembali mencari anak kecil dan nenek tadi. Tapi, sesaknya pengunjung pasar menyulitkan pencariannya.
          Setelah beberapa menit mencari tanpa hasil, ia memutuskan pergi. Ray berjalan menyusuri beberapa kios dan toko, lalu menuju toko peralatan. Sebuah toko dua lantai yang menjual segala peralatan berbahan logam, dari peralatan bertani sampai senjata perang. Tampak para ksatria sedang melihat-lihat senjata perang yang dijual ditoko tersebut. Maklum, beberapa hari lagi akan diadakan pertarungan bela diri dalam perayaan Franca (acara perayaan bagi dewi furita. Dewi furita dipercaya oleh para penduduk Garinka sebagai dewi kemakmuran). Ia berjalan menemui penjaga toko. Pria itu menunduk dan tersenyum. Seorang pria setengah baya dengan tubuh gemuk. Perut buncitnya seolah menunjukkan kekayaannya.
“ada yang bisa kubantu?” ujarnya.
“ya, Duta, pamanku, sudah memesan sebuah pelana kuda, dengan ukuran sedang.”
“Duta? Oh, ya...sebentar...” kemudian ia menuju gudang toko tersebut.
          Disamping Ray, seorang pria berbaju zirah dengan tinggi badan yang lebih pendek darinya tiba-tiba meremas tangan Ray dan berkata, “tangan yang kuat, cukup kuat untuk mengangkat pedang atau tombak!”
          Ray hanya tersenyum dan mengangguk. Pandangannya tertuju pria berwajah garang yang berdiri disampingnya dan membuatnya gugup.
“coba kau tangkap tongkat ini!” lanjut pria tadi sambil berjalan mengambil sebuah tongkat, lalu melemparkannya kepada Ray. Ray terkejut, dia tidak dapat menangkapnya. Akibatnya, tongkat itu memecahkan lemari disebelahnya. Suasana menjadi gaduh. Barang-barang didalam lemari tercecer berantakan. Si pemilik toko berlari cemas dari gudangnya.
“masukan saja kedalam tagihanku!” kata si pria tadi kepada pelayan toko
“dan kau...ternyata masih sangat muda, bahkan untuk menangkap sebuah tongkat!” ujarnya kepada Ray, “kelak, kau harus menunjukkannalurimu! Jangan membuat malu darahmu.” Kemudain pria itu keluar dari toko.
“siapa dia?” tanya Ray kepada pemilik toko, sambil memandang pria itu keluar toko.
“Joe, jendral utama Stars,” jawab pelayan toko tersebut. “kau pasti punya sesuatu yang istimewa sehingga Joe mau berbicara denganmu. Selama ini, aku sama sekali belum pernah berbicara dengannya kendati ia sering sekali kesini,” lanjut pelayan toko sambil memberikan pelana kuda kepada Ray.
          Aku? Istimewa? Rengut Ray sambil memeluk pelana kuda pesan majikannya.
***
          Sudah dua tahun Ray bekerja disebuah ladang anggur. Setelah lulus sekolah, ia menghabiskan siang harinya diladang dan mendapat upah yang sangat kecil. Semua dilakukannya atas permintaan ibunya, sekaligus sambil menunggu pengumuman dari Universitas Hinkal. Bulan lalu, ibunya mendaftarkannya dan ia telah mengikuti ujian masuk. Sebenarnya, dia ingin mendaftar diakademi perang, namun ibunya benar-benar tidak menghendakiny menjadi anggota pasukan kerajaan. Ibunya menginginkan Ray menjadi seorang ahli hukum atau seorang ilmuwan, bukan anggota pasukan yang harus turun ke medan perang.
          Sebuah ladang anggur luas membentang dihadapannya. Seangga dan manusia jerami yang dibuat untuk mengusir burung-burung seakan menari menyambut kedatangannya. Ia lalu berjalan menuju rumah kayu disebelah utara ladang anggur untuk menemui Duta, veteran perang Zonega. Ia kehilangan kaki kirinya pada saat perang. Jadi, ia memakai kaki buatan yang terbuat dari baja untuk membantunya berjalan. Duta adalah sahabat dekat ayah Ray. Tak salah jika Ray menganggap Duta sebagai ayahnya sendiri.
          Ray memasuki rumah itu tanpa permisi. Duta sedang mengasah sebilah pedang sangat indah. Baru pertama kali Ray melihat pedang itu, meskipun ia mengetahui bahwa pedang itu telah lama disimpan dilemari peralatan pamannya.
“wah..., pedang ini bagus sekali. Punya siapa ini?” tanya Ray yang langsung berlari mendekat
“kau sudah mengambil pelana kudaku?” tanya Duta , mengacuhkan pertanyaan Ray
“sudah.....sudah....itu ada dalam tasku. Pedang siapa ini?”
          Duta berdiri dan menyarungkan pedangnya, membungkusnya dengan kain. Kemudian meletakannya didalam lemari.
“bawa pelana kuda itu!” perintahnya kepada Ray sambil berjalan keluar dari rumah. Kemudian ia bersiul nyaring.
“aku tadi memecahkan lemari kaca toko itu...,” sesal Ray sambil menundukkan kepalanya, dan mengikuti Duta.
“berarti besok aku harus membayar ganti ruginya.”
“tak usah....Joe telah memasukan biaya tersebut kedalam tagihannya.”
“Joe? Joe, ksatria Stars?” Duta mengernyit dan memandang Ray.
“ya, Joe yang itu. Tadi ia mendekatiku dan memegang lenganku. Katanya tanganku cukup kuat untuk mengangkat senjata. Lalu....Joe melempar sebuah tongkat kearahku. Aku terkejut dan tidak mampu menangkap tongkat tersebut. Benda itu jatuh mengenai lemari kaca toko,” jelas Ray sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“tanganmu cukup kuat untuk mengangkat sebuah tongkat. Bahkan menurutku, tanganmu cukup kuat untuk mengankat sebilah pedang,” hibur Duta sambil mengeluarkan pelana kudanya dari tas. Seekor kuda tua telah berada dihadapan mereka. Kuda itu adalah sahabat terbaik Duta sekaligus penyelamat nyawanya dalam perang Zonega.
“benarkah itu, paman?” tanya Ray sambil menepuk-nepuk leher kuda yang sedang dipakaikan pelana baru oleh Duta.
“kuat untuk mengangkat senjata, tapi belum siap untuk mengendalikan senjata.”
“lalu kapan aku siap untuk mengendalikan senjata?” tanya Ray lagi, sambil menahan kaki pamannya, menjadi tumpuan untuk naik keatas kuda.
“bila kau tahu benar bahwa itu adalah jalanmu,” jawab Duta pendek, sambil meninggalkan Ray dengan kudanya yang terpacu. “mulai berlatih dengan pedang kayumu, sekarang!” teriaknya lantang.
          Selain bekerja sebagai petani anggur, Ray juga berlatih bela diri dengan Duta. Namun semua itu tanpa diketahui ibunya. Shilla tidak ingin anaknya menjadi petarung seperti suaminya, mungkin karena ia tak mau kehilangan Ray seperti ia kehilangan suaminya.
“pedang kayu? Aku bosan dengan pedang kayuku!” gumam Ray sambil berjalan masuk kedalam rumah.
          Ia melangkah menuju lemari peralatan pamannya untuk mengambil pedang kayunya. Pada saat membuka pintu lemari, ia tergiur untuk melihat pedang yang tadi diasah pamannya. Pedang tersebut terbungkus rapi oleh kain hitam, dan itu bukan sembarang kain. Kain tersebut adalah kain kerajaan Stars, bergambar seekor burung phoenik yang ditengahnya ada lambang bintang. Ray tahu bahwa pedang tersebut bukan pedang biasa.
“mungkin pedang ini pantas untukku,” ujarnya dalam hati.
          Sambil tersenyum ia mengeluarkan pedang tersebut dari lemari dan meletakannya di atas meja. Ia mulai membuka kain pembungkusnya dan mengangkat pedang tersebut. Kemudian ia terhenyak saat melihat nama pada sarung pedang tersebut.
          Ray...apakah paman sengaja memesan pedang ini untukku?pikir Ray, senang.
          Lalu ia mengeluarkan pedang itu dari sarungnya, mata Ray sempat mengedip terkena pantulan cahaya dari pedang bermata dua tersebut. Ia mengibaskan pedang itu beberapa kali. Kemudian ia meneliti pedang itu dengan saksama. Terdapat lambang kerajaan yang terukir dengan tinta perak, dipangkal pedang. Digagangnya tertanam sebuah batu berwarna merah.
“ah, pedang ini bukan untukku,” gumam Ray.
          Ray menggaruk-garuk kepalanya, lalu mengamati batu merah itu dan menyentuhnya. Tiba-tiba terpancar cahaya merah yang sangat terang dan menyilaukan. Ray terkejut. Ia tidak tahu mengapa pedang ditangannya tiba-tiba bersinar sekuat itu. Menggetarkan tanah yang dipijaknya. Ia begitu takjub dan bingung.
          Dari kejauhan. Duta tiba-tiba menghentikan kudanya karena tanah sekitarnya bergetar. Lalu ia berbalik dan melihat rumahnya memancarkan cahaya merah lurus kelangit. Ia kaget setengah mati, lalu segera memecut kudanya untuk berlari secepatnya menuju rumahnya.
“Ray...mungkinkah dia?”
           Ia belum pernah melihat hal seperti itu dalam hidupnya. Tapi ia tahu benar tentang ramalan yang menyebar dari mulut ke mulut. Ramalan yang hanya dianggap orang-orang sebagai dongeng sebelum tidur.
          Duta terus melaju sampai didepan rumahnya.
“RAY!!!” teriak Duta dari luar rumah. Ia lalu melompat, turun dari kudanya, dan memandangi rumahnya yang terselimuti cahaya merah.
          Tak lama kemudian cahaya tersebut menghilang. Ia berlari masuk kedalam rumah. Tampak Ray sedang berlutut memegang sebilah pedang yang tadi diasahnya. Duta mendatangi Ray dan membopongnya keluar rumah.
“apa yang terjadi?” tanya Ray, masih kebingungan.
“kau benar-benar istimewa!” Duta menjawab sambil membantu Ray duduk dipelataran rumahnya. “kau adalah yang terpilih. Kini kau adalah seorang Cardan! Batu merah itu telah menjadi satu denganmu,” jelasnya kepada Ray yang masih terheran-heran dengan apa yang dialaminya.
“Cardan? Apa itu Cardan?”
“sudahlah...kini kau harus pergi ke hutan Dio, disana kau akan mengerti,” ujar Duta
“mengapa aku harus pergi?”
“sebentar lagi pasti utusan dari kita akan datang, dan bila mereka melihatmu, mereka akan membawamu ke istana. Kau belum siap pergi kesana, masih banyak yang harus kau pelajari. Sekarang kau harus pergi.”
          Duta benar-benar memaksa muridnya untuk pergi ke hutan Dio. Ray pun mematuhinya. Ia membawa pedang yang ternyata milik ayahnya, lalu berjalan menuju timur, kearah hutan.
“apa yang akan terjadi?” tanya Duta berfirasat buruk dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar