Setelah menghabiskan pagi hari berkeliling kota, putri Acha kembali ke istana untuk bersantap siang bersama keluarga kerajaan. Mereka berkumpul dibalkon istana yang luas. Lantainya berlapis batu marmer yang dihaluskan sampai mengilat, sehingga memungkinkan orang untuk bercermin. Balkon tersebut berada dilantai tiga, sehingga pemandangan kota dapat terlihat jelas dari sana. Tampak semua anggota keluarga kerajaan hadir dalam acara santap siang tersebut. Raja gabriel, permaisuri Sivia, Pangeran Ozy, Putri Acha, Winda penasihat kerajaan, Dave Dan Joe dua jendral perang kerajaan. Mereka duduk mengelilingi meja makan berbentuk persegi panjang yang cukup untuk dua belas orang.
“bagaimana harimu, Acha?” tanya Gabriel sambil menyantap makanan.
“aku tadi berkeliling Hinkal. Ayah...rakyat kita sangat membutuhkan perhatian. Tadi, dipasar aku melihat banyak penduduk kita yang kelaparan dan harus mengemis untuk hidup,” jawab Acha.
“itu karena mereka adalah pemalas yang tak berguna!” sela Ozy
“pemalas? Lalu bagaimana dengan kita? Bukankah kita yang pemalas?” bantah Acha. “kita hanya makan-tidur setiap hari. Dan kau, Ozy....,” kata Acha sambil menunjuk ke arah kakaknya. “kapan kau pernah keluar istana untuk melihat rakyatmu? Padahal, kau adalah seorang pangeran yang kelak menggantikan ayah untuk menjadi raja,” lanjut Acha, membuat suasana menjadi hening. “bagaimana kau dapat memimpin?” tanya Acha sedikit berteriak, matanya berkaca-kaca. Ia lalu pergi meninggalkan meja makan sambil meneteskan air mata. Permaisuri Sivia dan Joe langsung mengikuti Acha yang berlari ke kamarnya.
“dasar wanita....,” gumam Ozy sambil terus menghabiskan makanan di piringnya.
“menurutku itu usul yang bagus,” ujar raja Gabriel kepada Ozy, putranya. “sebaiknya kau menuruti usul adikmu tadi. Kau terlalu banyak menghabiskan waktu didalam istana.”
“tapi, ayah, aku menghabiskan banyak waktu didalam istana untuk belajar tentang kepemimpinan, sejarah, dan ilmu hukum yang kelak akan kubutuhkan saat memimpin Stars.” Ozy membantah pernyataan ayahnya.
“ya, aku tahu kau menghabiskan banyak waktu untuk belajar. Tapi semua ilmu yang kau pelajari sama sekali tak akan berguna bila kau tak tahu keadaan rakyatmu,” jelas Gabriel bijak.
“ya....ya...ya...,” ujar Ozy kesal.
***
Sesampainya dikamar, Acha menutup dan mengunci pintu. Kamar kerajaan: mewah, elegan, dan selalu bersih. Sentuhan pribadi dari pemiliknya membuat kamar itu kehilangan kesan kakunya sehingga yang tercipta adalah kesan menawan dan selalu membuat betah siapa saja yang memasukinya. Ia meringkuk di atas ranjang sambil menangis tersedu-sedu.
“Acha......Acha....buka pintunya....,” teriak Sivia sambil mengetuk pintu kamar Acha.
“nanti saja, ibu! Nanti saja!”
“Acha, ada apa denganmu...ayolah buka pintunya,” Sivia membujuk Acha.
Acha tidak menyahut.
“mungkin sebaiknya kita tinggalkan ia sendiri, ia hanya butuh ketenangan,” usul Joe kepada Sivia.
“baiklah...,” jawab Sivia, kemudian pergi meninggalkan kamar Acha.
“aku hanya ingin keadilam bagi mereka....,” rintih Acha lirih.
Air matanya jatuh mengalir membasahi pipinya. Rambutnya terurai acak, tangannya dilipat, kemudian ia bersujud didepan jendela kamarnya.
“tolonglah aku, tolonglah rakyatmu, wahai dewi furita, pelindung Garinka!” doa Acha kepada dewi furita.
“asalkan, kau selalu mendengarkanku.” Terdengar suara wanita berbsisik pelan.
Acha tertegun, “Siapa itu? Siapa?!” Acha berteriak, mengira ada orang yang mengawasinya.
Tapi sama sekali tak ada jawaban. Acha membuka jendela lalu memeriksa balkon kamarnya, ternyata tidak ada orang. Kemudian ia membuka pintu untuk melihat apakah ada orang diluar kamarnya, ternyata sama sekali tak ada. Lalu ia kembali masuk kedalam dan duduk diranjang.
Apakah tadi benar-benar dewi furita yang menjawab doaku? Tanya Acha dalam hatinya.
Putri Acha memimpikan kesejahteraan di Stars. Ia menginginkan persamaan antara kaum bangsawan dan rakyat biasa. Ia kecewa dengan kepemimpinan ayahnya yang selama ini terfokus pada perang di Little (kerajaan tetangga yang telah lama menjadi sahabat Stars. Kerajaan itu terletak diantara Stars dan Moon, musuh bebuyutan Stars. Moon hanya dapat menyerang Stars apabila dapat melewati Little). Ayahnya selalu mengatakan bahwa Little adalah tanggung jawab Stars.
Joe harus tahu tentang ini! Ujar Acha dalam hati, sambil bergegas keluar dari kamarnya.
Acha menuruni tangga, menuju lantai dasar istana untuk mencari Joe. Tak sengaja ia berpapasan dengan Shilla, seorang wanita yang telah lama menjadi pelayan istana.
“ada apa, putri?” tanya wanita tersebut ramah setelah membungkukkan tubuhnya, memberi hirmah pada sang putri. “putri tampak tergesa-gesa sekali.”
“apa kau melihat Joe, shilla?”
“Joe menemani permaisuri Sivia.”
“kau tahu mereka kemana?”
“mmmm....sepertinya kembali keruang makan. Ada yang bisa saya bantu, tuan putri?”
“shill...apa kau pernah mendengar suara dewi furita?” tanya Acha berdiri di anak tangga kayu.
“suara dewi furita?” Shilla berdiri disebelahnya
“aku tadi mendengar suara, saat aku berdoa dalam hati, apa kau pernah mendengarnya, Shilla?”
“ya, saya pernah. Dulu saya pernah berdoa kepada dewi furita untuk anak saya. Dan saya mendengar suara jawaban tetapi tidak ada wujudnya. Sama seperti putri,” jelas Shilla
“oh ya, Shilla, berapa umur anakmu?” tanya Acha sambil menuju kamarnya.
“20 tahun. Tiga tahun lebih tua dari tuan putri.”
“aku yakin ia akan menjadi seorang yang besar nanti,” ujar Acha
“terima kasih, tuan putri,” jawab Shilla sambil kembali membungkukkan tubuh.
***
Penduduk kota terkejut. Mereka tanpa komando, mendadak menghentikan kegiatannya secara serentak. Sejenak mereka takjub dan tidak sempat bertanya apa yang sedang dilihat. Mereka hanya ternganga, melihat cahaya merah menyorot ke langit.
Begitu pun di istana. Para penghuni istana berhamburan keluar untuk melihat cahaya merah tersebut dengan jelas. Sivia, yang saat itu sedang berada di beranda, langsung berteriak memanggil suaminya. Mendengar teriakan Sivia, Gabriel dan kedua jendral perang segerra berlari ke tempat Sivia berada.
Gabriel Damanik terdiam melihat kejadian langka tersebut. Wajahnya berkerut penuh tanya. Sekitar lima belas menit cahaya tersebut memancar lalu kemudian menghilang. Mereka tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun.
Gabriel membalikkan badannya yang tinggi kurus. “pergi lihatlah apa yang terjadi disana!” perintahnya kepada Dave.
Pria tersebut menganggukkan kepalanya dan pergi dari ruangan itu untuk menjalankan tugas dadakan dari sang raja.
***
Melihat kejadian yang sama, putri Acha yang sedang melatih kemampuan terbangnya, tiba-tiba terjatuh dari udara.
BRUUKKK!
Putri Acha tidak merasakan sakitnya, ia masih menatap kearah cahaya itu.
“apa itu?” tanya Acha
Winda, guru sihirnya yang juga melihat kejadian itu menjawab pertanyaan putri Acha. “Mmmm...Garinka akan mempunyai pahlawan baru.”
“tapi kita tidak membutuhkan seorang pahlawan, negeri kita dalam keadaan aman dan tentram,” sanggah putri Acha.
“mungkin akan terjadi sesuatu yang besar nanti,” jawab Winda, parau, sambil membetulkan kacamatanya yang sedikit turun ditulang hidungnya. “aku harus menemui ayahmu sekarang, pelajaran kita selesai.” Winda bergegas pergi.
Apa yang terjadi? Pikir Acha sambil melayangkan tubuhnya melanjutkan latihan sihir.
***
Raja Gabriel duduk di singgasananya, ditemani Sivia dan Joe. Para anggota dewan dan mentri istana duduk dibawah singgasananya. Situasi menjadi tegang akibat kejadian yang mereka lihat.
“Gabriel, kau tahu apa yang harus kau lakukan?” tanya Sivia.
Gabriel terdiam, entah apa yang sedang dipikirkannya. Selama dua puluh tahun Stars berada dalam kondisi aman dan tentram. Perang Zonega adalah kekacauan terakhir yang dihadapi kerajaan ini. Bahkan, rakyat sudah melupakan perang tersebut. Kejadian kali ini dapat merisaukan mereka kembali.
Sudah beberapa jam mereka menunggu Dave yang ditugaskan untuk pergi menyelidiki kejadian cahaya merah tersebut. Namun hingga malam begini, ia dan beberapa pasukannya belum juga tiba di istana.
Sivia beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan keluar. Tidak seorang pun menghiraukan kepergiannya. Yang lain masih menundukkan kepala, berpikir. Beberapa dari mereka bercakap-cakap dengan suara yang sangat pelan, mengira-ngira apa yang akan terjadi.
Permaisuri berjalan menuju ruang pelayan. Ruangan itu terletak dilantai dasar. Bau asap, lemak, bercampur bumbu-bumbu makanan yang sedang dimasak memenuhi ruangan itu. Para pelayan tampak sedang membicarakan kejadian tadi. Mereka berhenti bicara ketika Sivia masuk.
“apa kabar semuanya?” sapa Sivia dengan ramah.
Namun sama sekali tak ada yang membalas sapaannya. Mungkin mereka terkejut dengan kedatangan permaisuri kedalam ruangan yang tidak seharusnya dimasukinya.
“baik, permaisuri. Ada yang bisa saya bantu?” terdengar suara seorang wanita dari balik ruang cuci pakaian. Ternyata itu Shilla.
“Shilla...bisakah kita bicara sebentar diluar?” tanya Sivia sambil membuka pintu.
“dengan senang hati, yang mulia,” jawa Shilla sambil mengikuti Sivia berjalan keluar, yang disertai penghormatan dari para pelayan lain.
***
“akhirnya kau sampai juga!” kata Gabriel kepada Dave yang telah kembali ke istana.
“jelaskan kepadaku apa yang telah terjadi disana?”
“maafkan kami yang telah membuat baginda menunggu lama, yang mulia! Kami tak menemukan apapun disana, walaupun telah menyisir area tersebut. Aku tak dapat menjelaskan apa pun. Tapi kami telah membawa seseorang yang mungkin tahu,” jelas Dave
“hormat hamba, yang mulia!” ujar Duta sambil berlutut di hadapan rajanya.
“Duta!” Gabriel terkejut.
“benar yang mulia, bagaimana kabar baginda?” jawab Duta sambil tersenyum. Gabriel sangat mengenal Duta karena ia adalah salah satu jendral besardan merupakan pasukan garis pertama dalam perang Zonega. Bahkan ia mendapat tanda jasa terhormat dari Gabriel. Ia memutuskan berhenti dari pasukan kerajaan karena kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan.
“Duta...jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?”
“mungkin, seorang Cardan baru telah terlahir di Garinka ini,” jawabnya sambil berdiri perlahan.
“kau tahu siapa itu?”
“belum, yang mulia! Namun yang jelas, sang Cardan akan menyelamatkan Garinka.”
“itulah yang sebenarnya kutakutkan...,” ujar Gabriel sambil menyandarkan kepala pada kursi kebesarannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar