Jumat, 15 April 2011

Cardan Part 3

Pada waktu yang sama dihutan Dio, Ray merebahkan tubuh ditanah yang dihiasi pepohonan yang luar biasa besar dan lebat. Matanya tertuju pada langit, seperti yang biasa dilakukannya pada malam hari.
“Cardan...,” gumamnya. “ibu!!! Aku harus pulang dan mengatakan ini pada ibu!”
          Ray langsung berdiri dan berniat pulang. Namun, tiba-tiba, seseorang telah berdiri dihadapannya.
“kau harus terus berada disini!” ujarnya sambil memukul cukup keras kepala Ray sampai pemuda itu kehilangan kesadaran. Ia mengangkat Ray, kemudian menghilang.
***
          Keesokan harinya, ketika membuka mata, Ray baru menyadari bahwa ia tertidur diatas matras, dalam sebuah tenda. Tampak sinar matahari menembus sela-sela tenda. Ray berdiri kemudian memeriksa tenda. Terdengar suara percakapan dari luar. Dengan rasa ingin tahu, ia keluar dari tenda yang menjadi tempat peristirahatannya semalam.
“aha...kau sudah bangun!” ujar seorang pria yang dari tadi bercakap-cakap diluar tenda.
          Pria tersebut mengenakan seperangkat baju zirah kerajaan Stars. Teman bicaranya juga mengenakan baju zirah. Ray tertegun melihat mereka, ia bahkan terperanjat ketika melihat sekelilingnya. Terdapat lembah luas dengan padang rumput dikelilingi lebatnya hutan, dari puluhan tenda serta ratusan pemuda yang berusia tidak jauh dengannya sedang berlatih bela diri dan sihir.
“selamat datang ditempat ini! Namaku Debo Andryos dan dia, Deva Ekada,” kata pria tadi, memperkenalkan diri dan kawannya.
          Ray hanya terdiam dan masih memerhatikan puluhan pasukan yang ada disekelilingnya.
“haha...kau kaget melihat situasi ini?” tawa Deva. “ini akan menjadi tempat tinggalmu sekarang!”
“sudahlah...mari ikut kami!” ujar Debo, merangkul pinggang Ray. “kau harus bertemu dengan Alvin.”
          Kemudian mereka bertiga berjalan, Ray masih tak henti-hentinya memerhatikan sekitarnya. Untuk sesaat, situasi itu mengingatkannya pada Akademi Perang Stars. Mereka meniti anak tangga yang tersusun dari bebatuan, menuju sebuah meja, disisi lembah yang curam. Terdapat meja yang dibuat dari batu besar yang dipahat kasar beserta beberapa kursi yang mengelilinginya. Tampak seorang pria duduk dikursi tersebut.
“Alvin! Lihat, siapa yang baru bangun!” kata Deva.
          Pria itu berdiri dan membalikkan badan. Seorang yang bertubuh sangat tegap. Ialah yang membawa Ray kemarin.
“Mmm...inilah anggota baru kita!” ujarnya sambil mempersilakan Ray duduk disebelahnya.
          Ray tertegun melihat pria itu. Kemudian duduk disebelah pria itu.
“Alvin, kami harus meninggalkan kalian berdua disini,” kata Debo.
“kami masih harus mempersiapkan pasukan muda kita,” lanjut Deva.
“baiklah!” jawab Alvin
          Kedua pria tersebut pergi meninggalkan Ray dan Alvin di tempat itu. Dari sana, Ray dapat dengan jelass melihat tenda yang tadi ditinggalkannya dan semua kegiatan ditempat terrsebut.
“selamat datang dipusat pendidikan kami! Disini, anak-anak muda sepertimu akan digembleng sesuai bakatnya,” jelas Alvin.
“untuk apa kau membawaku kemari?” tanya Ray kepada pria yang baru dikenalnya itu.
“kau adalah seorang Cardan dan mungkin kau yang dapat menyelamatkan negeri ini.”
“Cardan? Apa itu cardan? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Ray beruntun.
“Cardan adalah orang-orang terpilih, dan bukan manusia biasa. Mereka ditakdirkan menyatu dengan batu yang berasal dari bintang-bintang Garinka. Seperti dirimu!”
“kau telah menyatu dengan batu dari bintang Sanggu, yaitu bintang dari elemen api. Kau telah terpilih untuk mendapatkan kekuatan Sanggu,” jelas Alvin.
          Ray merengutkan wajah sambil menelan ludah.
          Tanpa menghiraukan kebingungan Ray, Alvin melanjutkan,
“dan aku disini akan melatihmu untuk mempergunakan kekuatan Sanggu-mu.”
“tidak! Aku tidak boleh berada disini. Aku harus pulang menemui ibuku!” teriak Ray, seraya berlari meninggalkan Alvin.
          Ray berlari melewati jalan yang tadi dilaluinya. Alvin hanya tersenyum dan sama sekali tidak bergerak mengejarnya.
          Aku harus bertemu ibu! Ujar Ray dalam hati sambil tetap berlari.
          Tak disengaja ia melewati Debo dan Deva yang otomatis mengejar Ray. Kejadian tersebut membuat situasi kacau. Ray berlari kesana kemari, mencoba melarikan diri dari Debo dan Deva. Perbuatan yang malah membuat semakin banyak orang mengejarnya. Ray berlari kencang sekali, kibasannya merobohkan beberapa tenda dan mengacaukan sekumpulan pasukan muda yang sedang berlatih. Yang mengejarnya pun semakin kewalahan, ia mempunyai kecepatan dan stamina luar biasa. Bahkan Debo harus menghentikan lari sejenak untuk mengatur napas karena dadanya mulai sesak. Tentu saja, Ray sudah melesat jauh.
          Tiba-tiba, seekor elang berukuran raksasa mencengkram bahu Ray dan membawanya ke udara. Ia terkejut dan mencoba melepaskan diri dari cengkraman elang raksasa itu. Ia memukul-mukul kaki binatang itu sampai si elang merasa kesakitan. Yang lain hanya melihat kebawah.
“bagus! Sekarang turunkan dia, Warcliff!” perintah Deva kepada makhluk tersebut.
          Elang yang kesakitan itu pun melepaskan cengkramannya. Ray melayang di udara. Kemudian jatuh menimpa tenda yang berjajar dibawahnya.
“tangkap dia!” teriak Debo sambil berlari.
          Namun, setelah memeriksan tenda yang yang ditimpa Ray, mereka tidak menemukan pemuda itu. Mereka semua kebingungan.
          Warcliff mendarat dan membelai kaki dengan paruhnya, berharap itu akan menyembuhkan sakit.
“dimana dia?” Debo menyingkirkan kain tenda yang menghalangi pemandangannya.
“sudah, jangan dicari, sebentar lagi ia akan kembali,” ujar Alvin yang telah bersama pasukannya.
***
          Setelah berhasil lolos dari kejaran Debo dan pasukannya, Ray berjalan menyusuri jalan setapak hutan, tempat yang belum pernah didatanginya. Dalam perjalanan, ia masih memikirkan perkataan Alvin tadi. Karena baru mendengar kata Cardan, ia masih belum percaya bahwa ia sekarang adalah seorang Cardan. Kemudian, ia menyadari sesuatu dan menghentikan langkahnya.
“bagaimana aku bisa?”
          Ray menggelengkan kepalanya. Berpikir apa yang harus dilakukannya.
          Hhh...aku harus kembali kesana, lanjutnya dalam hati.
          Ray pun mengubah arah langkahnya kembali menuju tempat semula. Tempat yang tadi ditinggalkannya dengan susah payah.
***
          Setengah jam kemudian, di kamp pelatihan Alvin, datang sebuah kereta kuda kerajaan. Kereta cantik yang ditarik sepasang kuda putih dan dikawal dua pengawal kerajaan. Kereta itu berhenti tepat ditengah perkemahan. Para pasukan menghentikan latihan, mereka mengelilingi kereta itu.
“sudah! Lanjutkan saja latihan kalian!” perintah Deva pada mereka yang mengelilingi kereta tadi.
          Para pasukan mematuhi perintahnya. Mereka membubarkan diri dan kembali ketempat masing-masing untuk melanjutkan latihan. Kemudian dari kereta kuda tersebut turun sesosok tubuh yang memakai jubah kerajaan berwarna putih. Deva berjalan mendekatinya.
“selamat datang di kamp latihan kami!” sapa Deva ramah.
“antarkan aku menemui Alvin!” ujar sosok tadi, yang ternyata seorang wanita.
          Mereka berjalan menuju meja batu yang merupakan tempat berkumpulnya para pemimpin pasukan di kamp tersebut. Sesampainya disana, mereka masih harus menunggu, dan tak lama kemudian Alvin datang ditemani Debo.
“apa kabar?” sapa Alvin, ia lalu duduk disebelah wanita tersebut.
“baik. Aku membawa pesan dari permaisuri Sivia. Kalian harus segera menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk,” jawab wanita tadi.
“kemungkinan terburuk? Tapi, sudah dapat dipastikan kita akan bisa memukul mundur pasukan Moon yang ada dinegeri Little, walaupun negeri tetangga kita itu sudah kehilangan banyak pasukan . bersiap diri seperti apa lagi? Atau, jangan-jangan, kali ini permaisuri menugaskan kami mengirim semua pasukan dan membantu penuh pasukan kita di Little.?”
“permaisuri merasa semua itu hanya pengalihan. Menurutnya, target utama mereka adalah Stars dn ia yakin bahwa Hinkal dalam situasi berbahaya sekarang.”
“Hinkal? Tak mungkin! Little dengan Hinkal berjarak ratusan kilometer, mereka bahkan belum mendekati wilayah perbatasan kita,” ujar Alvin yang kali ini benar-benar tak setuju. “lalu apa kata raja Gabriel?” lanjutnya.
“raja tidak tahu-menahu tentang hal ini, bahkan ia tidak tahu  bahwa kita mempunyai pasukan cadangan disini. Permaisuri menginginkan agar kau tidak lagi mengirim pasukanmu ke Little. Pasukanmu harus tetap disini, untuk menjaga Stars. Ingat, kalian adalah pasukan khusus dengan komando dari sang permaisuri!”
“permaisuri merasa istana Stars sedang terancam. Ia mendapat penglihatan bahwa Siafrik masih hidup.”
“masih hidup?! Kau, aku, dan semua yang ada disini tahu bahwa ia telah mati. Ayahmu yang membunuhnya. Kuberi tahu, kepergian ayahmu tidaklah sia-sia!” sela Alvin kaget
“aku tahu kepergian ayahku tidak sia-sia, namun kitak tidak bisa menyangkal intuisi sang permaisuri,” jawab wanita tadi sambil membuka kerudung yang dari tadi menutupi kepala dan wajahnya.
“ibu?” teriak Ray tiba-tiba, sejak tadi ia bersembunyi dibalik semak-semak yang ada didepan mereka.
“Ray?” balas wanita tersebut.
          Alvin pun berdiri terkejut melihat Ray yang dari tadi mendengar pembicaraan mereka.
“Ray? Namanya Ray?” tanya Alvin kepada wanita tadi yang ternyata adalah Shilla, ibu Ray.
“Ray! Apa yang kau lakukan disini?” teriak Shilla
          Ray berjalan mendekati ibunya.
“ia adalah Cardan baru yang terlahir kemarin! Aku yang membawanya kesini, karena itu adalah tugasku,” ujar Alvin sambil menunjuk kearah Ray yang sudah memluk ibunya.
“Cardan baru? Anakku bukan seorang Cardan!” ujar Shilla selagi memeluk anaknya.
“Ray! Tegakkan badanmu dan ceritakan pada ibumu yang terjadi kemarin!”
          Ray melepaskan pelukannya dan duduk disebelah shilla. Dahi shilla berkerut, jemarinya menutup mulutnya yang ternganga. Ia ingin tidak percaya dengan apa yang Alvin katakan.
          Ray mulai bercerita, “kemarin, aku memainkan pedang yang ada dilemari peralatan Duta. Dan tiba-tiba pedang tersebut memancarkan cahaya merah yang sangat terang.”
          Mendengar perkataan anaknya, Shilla hanya bisa memandangi wajah anaknya yang masih terlalu muda untuk menjadi seorang Cardan.
          Setelah mendengar hal itu, Debo dan Deva yang dari tadi berdiri ikut duduk bersama mereka.
“apa pedang itu bertuliskan namamu?” tanya Shilla kemudian, membelai wajah anaknya.
          Ray menganggukan kepalanya. “iya, disarungnya.”
“Sanggu memilih seorang pahlawan baru, cucu dan anak dari pahlawan kita yang telah wafat,” ujar Alvin.
          Alvin, Debo, dan Deva tersenyum berseri-seri mendengar siapa sebenarnya calon pahlawan mereka. berbeda dengan wajah Shilla yang tampak sedih, matany mulai berkaca-kaca.
“apakah itu pedang milik ayah, bu?” tanya Ray.
          Ibunya hanya terdiam dan perlahan meneteskan air mata. Melihat hal tersebut Alvin memberi isyarat kepada Debo dan Deva.
“Ray, mungkin kau mau melihat-lihat tempat ini?” ujar Alvin lembut.
          Kemudian Debo dan Deva merangkul Ray dan mengajaknya pergi. Ray sebenarnya enggan, namun ia melihat isyarat di wajah Alvin yang memintanya pergi meninggalkan ibunya. Dengan berat ia mengikuti Debo dan Deva, menjauhi  Shilla.
***
          Ray berjalan mengelilingi perkemahan dengan panduan Debo dan Deva. Tampak dua orang sedang berlatih tanding, satu orang mengenakan kain merah yang diikatkan pada lengannya, dan satu lagi kain berwarna putih. Keduanya bersenjatakan sebuah tongkat.
          Debo menghentikan langkahnya dan menyempatkan Ray untuk menyaksikan pertandingan tersebut. Petarung dengan kain merah memulai dengan melompat setinggi-tingginya, mencoba memukul dari atas, mengarahkan sasaran pada kepala lawannya. Lawannya berhasil menghindar dengan sangat cepat, si lawan tiba-tiba sudah ada dibelakang dan memukul pundaknya. Pelatih mereka menghentikan pertandingan dan menyatakan bahwa petarung yang mengenakan kain putihlah yang menang.
          Ray bertepuk tangan atas kemenangan petarung tadi. Benar-benar petarung hebat, pikirnya sambil memandangi sang pemenang.
“ia adalah petarung terbaik kami,” ujar Debo sambil kembali berjalan memandu anggota barunya.
          Kemudian mereka melewati sekelompok penyihir yang sedang  melatih kemampuan. Ada yang sedang melatih kemampuan terbang, menghilang, menyembuhkan luka, dan menembak sasaran. Mereka mengeluarkan sebentuk tenaga dalam dari tangan, beberapa dari mata, lalu menembakannya pada sebuah sasaran. Beberapa tenaga dalam itu ada yang berbentuk bola, sinar, dan bermacam-macam lagi dengan berbagai warna berbeda.
          Ray sangat terkesima melihatnya. Baru pertama kalinya ia melihat penyihir. Maklum, biasanya orang-orang yang dilahirkan dengan bakat semacam itu menyendiri dan tak pernah memperlihatkan kemampuan. Banyak orang yang takut kepada penyihir, walau para penyihir biasanya dipakai dalam medan pertempuran.
          Akhirnya, mereka sampai ditempat pelatihan binatang tempur. Terlihat binatang-binatang liar yang sedang dilatih bertempur. Banyak sekali binatang yang baru dilihat Ray kali ini. Ia tak bisa menutup mulut ketika melihat seekor naga, grifin (singa-elang), dan banyak lagi. Ia terkejut melihat Warcliff, elang raksasa yang dilukainya tadi, sedang disembuhkan oleh seorang penyihir. Ia berjalan menuju elang tersebut, kemudian membelai sayapnya yang berwarna coklat kemerahan.
“sudahlah, tadi itu bukan kesalahanmu. Kau hanya mencoba untuk membela diri,” ujar Deva.
          Ray melanjutkab membelai sayap Warcliff. Elang raksasa tersebut hanya memandangi Ray.
“ia akan sembuh. Sekarang aku mau menunjukkan tenda yang akan menjadi tempat istirahatmu,” kata Debo yang kembali merangkul Ray.
“...bolehkah aku mencoba kemampuanku bertanding dengan pemuda tadi?” tanya Ray.
“tapi...,” gumam Deva yang tampaknya kurang setuju.
“aku sudah lama berlatih bela diri dengan pamanku, dan aku ingin mencoba kemampuanku,” lanjut Ray.
          Debo menatap Deva yang menggelengkan kepalanya. Kemudian ia memandangi wajah Ray yang tampaknya sangat menginginkan pertandingan itu.
“baiklah, kau boleh bertanding,” ujar Debo
          Mendengar hal itu, Ray langsung berlari, kembali  ketempat latihan tanding yang tadi dilewatinya. Tampak Deva dan Debo saling berdebat mengenai keputusan tadi.
***
          Shilla belum berhenti menangis, Alvin pun belum berani berkata-kata. Namun, dalam hatinya, ia sangat menghormati Shilla yang ternyata merupakan bagian dari keluarga pahlawan. Ayah Shilla adalah seorang Cardan murni yang telah berhasil membunuh Siafrik. Suaminya seorang pahlawan, dan kini anaknya adalah seorang Cardan murni yang diyakini akan menjadi pahlawan baru Garinka.
“ia belum siap Debo,” ujar Deva pada temannya.
“ia sudah sangat siap. Ia adalah seorang yang terpilih,” jawab Debo yang saat itu melihat Ray sedang bersiap-siap untuk bertanding.
“tapi ia masih terlalu mentah.”
“katanya tadi, ia telah lama belajar bela diri dengan pamannya. Dan, menurutku, pamannya adalah Duta,” jelas Debo.
          Deva terdiam setelah mendengar penjelasan Debo. Dulu, saat masih menjadi pasukan rendahan, Duta adalah guru mereka. Duta adalah ahli bela diri dan ahli strategi terbaik dimasa itu.
          Ray sudah berada di arena bertanding dan kini sedang berhadapan dengan lawannya, pemuda yang tadi memenangkan pertandingan. Ray menjabat tangan lawannya yang tampak beberapa tahun lebih tua darinya. Seorang pemuda dengan tampilan acak-acakan.
“namaku Ray.”
“aku sudah tahu tentangmu. Aku Cakka Nuraga,” sambut lawannya ketus, kemudian berjalan menjauh. Wajahnya terlihat bengis.
          Tak lama, pemimpin pertandingan memberikan aba-aba start. Ray berlari lalu menghentakkan tongkat dari atas. Cakka menghindar dan tiba-tiba berada dibelakang Ray. Namun, kali ini, ketika Cakka hendak memukul punggung Ray, dengan sigap Ray melakukan salto dan mendarat dibelakang Cakka. Debo dan Deva terkejut melihat kemampuan Ray. Merasa Ray sudah berada dibelakangnya, Cakka dengan gesit langsung melompat menjauh. Ray tersenyum melihat lawannya menjauh. Cakka kemudain berlari dengan kecepatan tinggi ke arah Ray. Namun mata Ray menangkap sebuah sasaran tembak dan melempar tongkatnya, tepat mengenai kening Cakka. Seketika itu, Cakka terjatuh dan tak sadarkan diri.
          Debo, Deva, serta pasukan lain yang menyaksikan pertandingan tersebut hanya bisa terdiam. Salah satu petarung terbaik mereka dapat dikalahkan dalam waktu cepat oleh Ray.
“bagus, kau benar-benar berbakat!” ujar Alvin yang saat itu sudah berada disana, sambil bertepuk tangan atas kemenangan Ray.
          Ray berjalan menuju Cakka, lawannya yang masih terkapar tak sadarkan diri ditanah. Tak lama kemudian datang para penyihir yang bertugas menyembuhkan  luka para petarung.
“apa kau masih mau bertanding lagi, Ray?” tanya Alvin yang kini telah berada disampingnya.
          Ray melihat kearahnya dan kemudian kembali menggenggam tongkatnya.
“ya, sepertinya aku masih bisa,” jawabnya pada Alvin.
“baiklah! Mmm...sebentar,” gumam Alvin sambil memandangi murid-muridnya.
“Gita, maukah kau bertanding dengannya?” tanya Alvin kepada salah seorang penyihir yang sedang berusaha memulihkan Cakka.
          Penyihir wanita berambut sepinggang tersebut menganggukan kepala sebagai tanda setuju. Para penyihir lain membopong tubuh Cakka keluar dari arena pertandingan.
“Ray, maukah kau bertarung dengannya?” lanjut Alvin bertanya pada Ray yang tampaknya terkejut melihat lawannya yang ternyata seorang wanita.
“tapi...,” gumam Ray
“baiklah, mari kita mulai pertandingan ini!” sela Alvin yang langsung memberi isyarat bahwa pertandingan dimulai.
          Gita melayangkan tubuh beberapa sentimeter dari permukaan tanah. Ray semakin kuat menggenggam tongkat dan memerkuat kuda-kudanya. Ia menunggu lawannya menyerang duluan. Gita mengarahkan kedua tangannya kepada Ray. Kemudian, tiba-tiba, melesatlah beberapa bola cahaya biru dari kedua tangan wanita muda tersebut ke arah Ray. Ray menghindar dengan cekatan, namun Gita tidak berhenti menembakkan bola-bola cahaya terssebut. Hal itu pastinya akan membuat Ray semakin letih karena harus mengerahkan tenaga untuk menghindar.
          Aku belum pernah melihat penyihir. Apa yang harus kulakukan?  Gumam Ray dalam hati.
          Kali ini tangan kiri Gita berhenti mengeluarkan bola cahaya, tangan kirinya mengepal. Entah apa yang akan dilakukannya, namun Ray merasa hal ini memberinya peluang, karena bola-bola cahaya yang terarah padanya berkurang. Ray melompat menghindar, sambil berusaha mendekatkan jaraknya pada lawan. Ketika Ray melihat peluang, ia melesat cepat mendekati Gita. Tapi, saat Ray sudah berada tepat didepannya, Gita membuka kepalan tangan kirinya, membuat Ray tak bisa bergerak.
          Apa ini?  Pikirnya dalam hati.
          Mengetahui lawannya sudah terkunci, Gita mengarahkan tangan kanannya dengan tujuan melesatkan bola cahaya yang kali ini pasti akan mengenai lawannya. Ray tetap tak bisa bergerak walaupun telah mencoba dengan sepenuh tenaga. Ray tahu, Gita akan menang dengan mudah, bila bola cahayanya mengenai Ray.
“cukup!” teriak Alvin
          Gita menurunkan kedua tangannya, Ray terjatuh dan tersadar bahwa ia telah dikalahkan oleh seorang wanita. Padahal wanita itu hanya menggerakkan kedua tanggannya selama pertarungan. Tubuhnya sama sekali tidak berpindah.
“kau boleh pergi, Gita. Terima kasih!” perintah Alvin kepada anak didiknya.
          Gita menundukkan tubuhnya dan bergegas kembali ke tempatnya. Alvin mendekati Ray dan mengulurkan tangan. Ray menyambutnya, Alvin membantunya berdiri. Debo dan Deva berjalan mendekati mereka.
“dua pertarungan yang hebbat!” kata Deva sambil menepuk bahu Ray.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar