Sabtu, 23 April 2011

Cardan Part 10

Siang ini, Deva ditugaskan Alvin untuk menangkap seekor hewan dipedalaman hutan. Menangkap hewan yang mempunyai kekuatan tempur bukanlah tugas ringan.
          Deva menjelaskan rencananya kepada anggota tim. Terdiri dari Ray, Gita, dan dua orang pemuda pilihan Alvin: Nico dan Edgar. Ray menggantikan Cakka yang hingga kini belum kembali, sejak pertarungan malam itu. Ray dipersilakan membawa pedangnya kembali. Mereka harus pergi kedalam gua yang menurut perkiraan Deva adalah tempat tinggal hewan tersebut.
          Setelah kurang lebih setengah jam Deva mempersiapkan timnya, mereka berangkat dari kamp pelatihan. Berjalan menyusuri jalan setapak hutan, Deva berada paling depan dengan membawa barang kesayangannya, yang sudah tampak hitam dan berkarat, namun uniknya masih bisa memotong dan membabat batang-batang pohon yang menghalangi jalan mereka. Gita berjalan dibelakangnya, kemudian Ray, lalu Edgar. Nico terbang diatas mereka. Perjalanan panjang yang cukup melelahkan, karena mereka harus melewati beberapa bukit.
***
          Deva dan regunya menunggu hewan itu diluar gua, dibalik batu besar. Ketika menit-menit berlalu, hewan itu tidak juga muncul, ia menyuruh regunya beristirahat sebentar. Untunglah, ia seorang pencari jejak yang handal, ia menggengam tanah lalu mengendusnya. Insting yang sudah membantunya selama bertahun-tahun kini memberitahunya bahwa hewan ini ada di sekitar mereka dan sedang mengawasinya.
          Dengan cermat Deva mengamati semua sela yang dapat membantunya menemukan hewan tersebut. Seekor anjing hitam besar, kutipnya dalam hati sebagaimana perkataan Alvin. Ia berjalan sendiri mengitari tempat tersebut, memeriksa semua kotoran, tetesan air, bahkan setiap batang pohon yang patah.
          Beberapa bulan lalu ia berhasil menemukan dan menangkap Warcliff dan sukses melatihnya menjadi seekor hewan tempur. Kali ini ia pun berharap demikian. Namun sepertinya ia harus menunggu beberapa jam lagi untuk menemukan hewan ini. Ia melihat jejak yang tampak baru saja ditinggalkan, jejak menjauh dari gua. Mungkin ia pergi umtuk minum atau mencari makan, pikirnya sambil menuju regunya yang sedang beristirahat.
          Ray tidak keberatan memakai waktu istirahatnya untuk memijat pergelangan kaki kiri Gita yang tadi sempat terkilir ketika meniti bebatuan di pinggir sungai. Ia melepaskan sepatu kulit Gita yang tingginya selutut. Walaupun mempunyai kekuatan menyembuhkan, Gita tidak dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Kakinya terkilir.
          Selama satu jam mereka menunggu hewan itu muncul dan kembali kesarangnya. Sekarang sudah pukul lima sore, Deva tahu bahwa akan semakin sulit menangkapnya bila matahari sudah tenggelam. Hewan ini mungkin mempunyai penglihatan lebih tajam dari mereka semua pada malam hari. Deva masih berdiri menatap matahari yang sebenatar lagi akan menghilang.
          Tiba-tiba terdengar suara dari sela-sela rerumputan. Deva mengisyaratkan regunya untuk bersiap dan berjaga. Dengan langkah kaki ringan, Deva mendekatisumber suara tadi. Ia berjalan perlahan dan nyaris tak bersuara, jarak antara dirinya dan sumber suara tadi kini tinggal selangkah lagi. Kedua matanya tetap sigap melihat setiap gerakan. Kemudian ia melompat ke atas reruputan tadi.
          Regunya yang dari tadi hanya memerhatikan, mulai gusar karena Deva tak lagi terlihat oleh mereka. Mereka berempat berjalan mendekat, hampir sama dengan cara Deva tadi, mencari tahu apa yang terjadi dengan Deva. Namun, beberapa detik kemudian, Deva berdiri dan tangannya sudah ada seekor anak tupai. Keempatnya bersamaan menghela napas lega melihatnya.
“hanya seekor anak tupai yang jatuh”
          Deva tersenyum sambil membelai-belai anak tupai tersebut.
“Nico, coba kau terbang dan cari jejak hewan itu!”
          Mendengar perintah dari gurunya, Nico bersiap terbang. Seperti biasa ia memulainya dengan menghentakan kakinya, kemudian mendorongnya ke udara. Tapi belum sampai dua meter ia terbang, seekor hewan besar berwarna hitam menerkamnya dari balik semak dibelakangnya. Deva ternganga melihat hewan besar yang tenyata seekor anjing yang sangat besar. Tingginya dua kali lipat tinggi Deva. Wajahnya bengis, matanya bulat hitam menyorot tajam. Hidungnya pesek dan berair. Pipinya jatuh karena kulitnya yang kendur, sangat menakutkan bila ia terlihat menggeram, menunjukkan gigi-giginya yang mengilat. Hewan itu menggigit tangan kanan Nico dan membanting-bantingnya ke tanah. Keempat kakinya berdiri kokoh.
          Deva langsung melentingkan badan, melompat ke punggung  anjing itu dan menggenggam erat kedua telinganya. Deva menarik-narik kedua telinganya untuk mengalihkan perhatian. Tapa komando, Ray dan Edgar memukul-mukul kedua kaki depan anjing tersebut. Ray yang kiri dan Edgar yang kanan. Gita melemparkan bola apinya pada wajah anjing tersebut.
“tembak matanya!!” seru Deva kepada Gita
          Gita berkonsentrasi untuk melepaskan bola apinya. Ia membuka tangan kanannya, seperti sedang menggengam sesuatu, beberapa saat kemudian sebuah bulatan api berwarna biru tercipta genggamannya. Ia melemparkannya, tepat mengenai mata anjing tersebut. Anjing itu melepaskan gigitannya dan melolong kesakitan. Badannya meronta. Deva melompat dari punggungnya, kemudian Ray dan Edgar berlari, lalu berdiri disebelahnya. Gita menyeret tubuh Nico menjauhi anjing itu dan mencoba memulihkan lukanya.
          Anjing itu marah. Berdiri berhadapan dengan Ray, Deva, dan Edgar. Ia menyeringai, menunjukkan giginya yang rapi dan tampak tajam untuk mengoyak daging. Mereka bertiga menggenggam erat senjata masing-masing, bersiap memulai pertarungan.
          Deva berlari, kemudian melompat dan berhasil menampar wajah anjing tersebut dengan sisi parangnya, lalu berpijak ke dahinya, kemudian kembali melompat ke tanah. Ray dan Edgar mengepung hewan ini dari dua sisi. Mereka harus menangkapnya hidup-hidup, sehingga mereka harus berhati-hati melumpuhkannya. Jangan sampai serangan mereka membunuh anjing tersebut.
          Ray bersiap menyerang bagian perut anjing, namun belum sampai memukul, anjing ini mengelak, kemudian menginjak dada Ray dengan kaki kanan depannya. Ray memukul-mukul telapak kaki yang sekarang menekan dadanya keras sekali, kuku-kukunya merobek baju Ray dan menggore kulitnya.
          Edgar mencoba mengalihkan perhatian anjing itu dengan cara melempar cakramnya, mengenai wajah anjing tersebut. Namun cakram terlempar begitu saja ketika mengenai sasaran, sama sekati tidak memberi efek apapun pada makhluk itu. Anjing itu membalas, menendang Edgar dengan kaki kiri depannya. Dan saat anjing itu akan menggigit tubuh Edgar, Deva menyelanya dengan naik kembali ke tubuh hewan itu dan menusuk-nusukkan mata tumpul parangnya ke lehernya. Anjing besar tersebut membalikkan wajahnya lalu menatap Deva. Deva berjalan mundur perlahan, anjing itu mengikutinya berjalan maju dengan tempo yang sama. Ini adalah seekor monster, pikirnya sambil merangkak menjauh.
          Tanpa sepengetahuan anjing ini, Deva menempatkan tangan kanan pada punggungnya. Jarinya memberi isyarat pada Gita yang berada dibelakangnya. Tak lama, tangan kanannya mengepal dan Deva melompat tinggi. Dalam waktu bersamaan, Gita mengarahkan kedua tangannya kearah anjing tersebut, berusaha menghentikan pergerakan hewa besar ini, sama seperti saat ia menghentikan Ray pada saat bertanding di kamp. Lalu Deva melesat dari udara dan memukulkan gagang parangnya ke ubun-ubun anjing hitam itu. Membuatnya lunglai dan badannya yang besar jatuh ketanah. Deva berhasil membuat anjing tersebut tak sadarkan diri kemudian ia menyuruh Gita membakar suar untuk memberi tanda kepada Alvin.
          Tak lama, asap biru muncul dari suar yang barusan dibakar Gita. Edgar memeriksa Ray yang belum bisa menggerakkan badannya. Luka cakaran di dadanya mengeluarkan darah yang terus mengucur. Edgar memintanya tetap tenang. Deva mendekati anjing itu. Ia tertarik dengan kalung yang melingkar dilehernya. Ia merabanya dan mengamati liontin yang tergantung. Chiby, mungkin ini namanya, pikirnya.
          Namun tiba-tiba anjing tersebut kembali membuka kedua matanya. Tatapannya tajam mengamati pria yang ada didepannya. Anjing tersebut perlahan kembali berdiri. Deva sama sekali tidak mengerti bagaimana makhluk hitam ini bisa bangkit lagi. Mata Deva melebar kaget, mulutnya menganga. Ia mencoba melangkah mundur dan anjing tersebut melangkah maju dengan hidung hitamnya yang tepat didepan muka Deva.
“oh, sialan,” gumam Deva pelan.
          Langkahnya terhenti saat kakinya terantuk sebuah batu. Gita dan Edgar yang tenaganya sudah terkuras habis tak dapat berbuat apa-apa melihat gurunya tersudut.
***
          Meditasi Cakka tak tenang, penuh pikiran yang menganggu. Ia masih tak dapat melupakan wajah Ray dari benaknya, dua kekalahannya masih berbekas. Tubuhnya tegak, kedua tangannya merentang datar, kuda-kudanya kokoh, dan ia memejamkan matanya untuk bermeditasi.
          Sudah dua jam ia mencoba tapi selalu oleh rasa kesalnya. Ia mengembuskan napas pendekdan membuka matanya. Ia melihat Alvin duduk santai dibawah pohon rindang tepat dihadapannya.
“apa yang kau lakukan disini?” tanyanya sambil menghampiri Alvin lalu duduk disebelahnya.
“aku ingin tahu keadaanmu.” Alvin tersenyum. “mengapa kau tidak melanjutkan meditasimu?”
          Cakka diam. Kemudian ia memetik sehelai rumput dan menggigitnya. “aku kesal pada diriku sendiri. Kenapa aku bisa sangat mudah dikalahkan olehnya? Padahal belum ada orang seumuranku yang mampu mengalahkanku. Aku kecewa dengan diriku. Mengapa aku bukan seorang Cardan seperti dirinya?”
          Alvin tertawa. “kau harus mendengar ceritaku”
          Lalu ia menyandarkan kepalanya pada batang pohon dibelakangnya. “dulu waktu aku seumuranmu, aku diterima di akademi militer Stars. Aku berangkat dari desaku dengan kepala tegak penuh percaya diri, karena belum pernah ada didaerahku yang menang bertarung denganku. Jumlah siswa yang diterima waktu itu lima ratus orang, dan hanya setengahnya saja yang lulus dan menjadi pasukan muda Stars. Dan kau tahu? Aku mendaftar masuk di divisi bela diri bukan sihir.”
“benarkah?” kata Cakka, suaranya bernada kaku.
“ya, karena aku pemenang didaerahku, aku sangat percaya diri dengan ukuran tubuhku. Itupula yang membuatku yakin saat bertemu siswa lainnya. Aku adalah siswa yang bertubuh paling tinggi diangkatanku, dan dulu aku sukan mengejek dan megolok-olok Debo yang tingginya kurang lebih sepinggangku. Bukan dia saja yang kurendahkan, setiap siswa yang menurutku lemah pasti pernah merasakan ejekanku. Aku menjadi orang yang dibenci teman-teman seangkatanku. Dan mereka semakin menjauhiku ketika aku kalah dalam sebuah latih tanding.”
“aku ingin tahu siapa yang mengalahkanmu?” tanya Cakka sigap.
“Debo!” lalu Alvin tersenyum kecil.
“bayangkan...aku kalah telak oleh orang yang selalu kuejek dan yang tingginya hanya sepinggangku.”
          Cakka mulai mengerti maksud cerita Alvin, alisnya mengangkat sebelah dan memandang Alvin. “aku mulai tahu maksudmu. Tapi kasusku berbeda denganmu. Aku tidak kalah oleh teman seperguruanku yang telah berlatih bela diri lama. Aku kalah oleh seorang entah kenapa tiba-tiba mendapatkan sebuah kekuatan besar. Itu tidak adil bagiku.”
“kau salah! Ray tidak andal bertarung karena menjadi seorang Cardan. Ia telah bertahun-tahun menimba latihan bela diri yang aku yakin sangat keras. Aku tahu itu karena aku kenal guru yang telah mengajarinya selama ini,” jawab Alvin dengan intonasi tinggi. “gurunya adalah Duta. Ia adalah guru Debo dan Deva, bahkan beberapa jendral perang lain pun pernah menjadi muridnya. Dan kau tahu, ia adalah seorang pahlawan besar bagiku dan bagi rakyat Stars.”
          Cakka terkejut menyadari bahwa ia salah. Alvin berganti memandang Cakka. Ia tahu bahwa anak ini mempunyai harga diri yang sangat dijunjungnya dan perasaan yang sangat sensitif. Anak ini mungkin sangat ingin menjadi Cardan, pikir Alvin
“kau tahu, baru lima tahun lalu aku terpilih menjadi seorang Cardan. Dan sebagai tambahan, Deva bukanlah seorang Cardan tapi ia bisa terpilih menjadi seorang jendral.”
          Cakka ragu-ragu, lalu bertanya dengan nada rendah. “benarkah itu?”
“kau harus meyakinkan dan menunjukkan kemampuanmu kepada mereka yang dilangit sana bila kau ingin terpilih menjadi seorang Cardan. Menjadi Cardan bukan sekedar kemampuan fisik, tapi jiwamu juga menjadi pertimbangan. Bukan tentang apa yang kau dapatkan, tapi tentang apa yang bisa kau beriakan. Bukan tentang apa yang kau inginkan, tapi tentang apa yang kau butuhkan. Lagipula kau juga harus mengemban kewajiban yang sangat besar.” Alvin sebentar menghentikan perkataannya, memerhatikan Cakka yang tampak sangat menyesal.
“aku bangga padamu kemarin malam. Kau dapat megimbangi Cardan Murni, murid pahlawan Stars. Aku rasa keputusannya seri, kau tidak kalah dan juga tidak menang.”
          Pembicaraan mereka terhenti, Alvin berdiri ketika melihat gumpalan asap biru yang mengepul ke udara. Kemudian ia memberi tahu Cakka bahwa itu adalah tanda panggilan untuknya dari Deva. Lalu ia menceritakan tugas yang diberikannya pada Deva. Tak lama kemudian Alvin menghilang dari pandangan Cakka menuju asap tersebut.     
***
          Napas Deva mulai habis, keringat dinginnya menetes, dan matanya tampak layu. Berbeda dengan anjing hitam itu, bibirnya bergetar marah dan pandangannya tajam. Dengan napas tersengal-sengal, Deva mengumpulkan semua kekuatannya yang masih tersisa dan mengumpulkannya ditangan kanannya yang mengepal. Kepalanya diselimuti jilatan api berwarna hijau. Mendadak ia memukulkannya ke rahang anjing tersebut, tepat dihadapannya. Kejadian itu bertepatan degan datangnya Alvin yang langsung berteriak untuk mencegah Deva, tapi terlambat. Anjing tersebut terjatuh lalu tak sadarkan diri, tanah disekitarnya bergetar ketika badannya membentur tanah.
          Alvin berlari menuju anjing tersebut dan langsung memeriksanya. Timbul kekhawatiran pada pukulahyang dihempaskan Deva. Ia membutuhkan hewan ini hidup-hidup. Akhirnya, ia dapat bernapas lega ketika tangannya meraba leher hewan tersebut dan merasakan denyut nadinya. Raut kekesalan tampak pada wajahnya, tapi kembali surut ketika melihat keadaan Deva dan anggota regunya yang lain. Deva tampak kelelahan dan kehabisan tenaga, Gita sibuk menghentikan pendarahan pada tubuh Nico. Lalu Ray dan Edgar terkapar ditanahpenuh luka. Deva terpaksa memukulnya, gumam Alvin dalam hati.
          Ia melihat wajah-wajah kesakitan mereka sambil memegang tangan Ray dan Edgar. Dengan ilmu menghilangnya, ia membawa keduanya menuju tenda medis di kamp. Kemudian ia kembali membawa Deva dan Nico. Terakhir ia membawa makhluk besar itu dan Gita.
          Kekhawatirannya memuncak ketika para ahli medis dan penyihir ditenda medis sibuk mengerahkan seluruh upayanya untuk memulihkan keempatnya. Ini tugas yang sangat berbahaya, salah satu dari mereka bisa kehilangan nyawa. Tak lama Gita dapat menenangkannya, kemudian Gite menjelaskan dengan gerakan tangannya tentang seluruh kejadian tadi. Alvin mengerti semua yang diceritakan muridnya. Ia seharusnya ada disana atau menugaskan lebih banyak orang. Ini bukan makhluk biasa, ini mungkin makhluk terkuat yang pernah ditangkap. Padahal, regu yang tadi ditugaskannya terdiri dari orang-orang yang dapat dikatakan terkuat dikampnya.
          Namun Alvin senang, ia dapat melatih hewan itu menjadi hewan tempur yang sangat hebat. Ia mulai membayangkan hewan itu berada di garis depan pasukannya pada sebuah peperangan. Kemudian Gita, Ray, dan Cakka akan menjadi sebuah tim yang hebat bila sudah menemukan kekompakkannya. Kita akan menang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar