Hari ini, acha bangun pukul tujuh, mandi dan mencuci rambut, lalu dengan cepat mengeringkannya. Hitam kemerah-merahan, mungkin karena sinar matahari, pikirnya ketika menatap warna rambutnya melalui cermin dan menatanya.
Ia ingat perkataan joe kepada ibunya ketika ia bertugas menjadi seorang penari di sandiwara istana pada perayaan akhir tahun. “acha punya sifat keras kepala dan rasa ingin tahu yang sangat besar, itu merupakan kelebihannya. Setidaknya, ia tidak akan menjadi putri yang seumur hidupnya selalu duduk dibelakang meja rias.”
Sarapan pagi sudah tersedia dimejanya. Telur angsa orak-arik dan segelas susu sepertii biasa. Ia langsung tahu bahwa telur ini bukan buatan shilla ketika mencicipinya. Tapi itu tidak menghentikannya melahap habis sarapannya. Kemudian ia membuka lemari pakaian, memilih selendang tebal dan gaun sederhana coklat tua. Selendang ini akan menghangatkanku dipenjara nanti, pikirnya. Ia sudah memutuskan untuk kembali mengunjungi ony. Tapi pagi ini ia harus segera menemui winda.
Acha menggunakan ilmu terbangnya untuk sampai keruang kerja winda. Ia melewati banyak tangga dan koridor, membuat para pegawai istana menghentikan sebentar kegiatannya untuk melihat acha. Acha memang jauh lebih ramah dar ozy, senyum kecil tak pernah pudar dari wajahnya ketika bertemu siapa saja.
Saat memasuki bangunan belakang istana, ia heran mengapa meja penjaga keamanan kosong. Keamanan disini tak terjamin, pikirnya, sambil berjalan menaiki tangga menuju lantai tiga. Bangunan ini baru didirikan, dan ia bertanya-tanya apakah ayahnya belum menugaskan beberapa penjaga disini. Sudah saatnya ayah menugaskan seseorang untuk mengelola tempat ini. “keterlaluan” gumamnya pelan, sampai di lantai teratas yang remang, ia mencari obor yang bisa terdapat disudut koridor.
Bahkan obor yang dinyalakannya pun tidak cukup menerangi koridor. Ini harus segera dibenahi, pikirnya kesal. Ia bertekad akan berbicara dengan ayahnya.
“matikan obornya!” bentak seseorang dari ruangan kerja ozy yang letaknya bersebrangan dengan ruangan winda.
Acha langsung tahu itu suara kakaknya, kemudian ia menuruti perintah kakaknya dan kembali mematikan obor di koridor tersebut. Ia mengetuk pintu ruangan winda, tapi tidak ada jawaban. Ia mengulanginya lagi, tapi sama sekali tidak ada jawaban. Aku akan kembali lagi nanti, pikirnya. Lalu ia berjalan menuju ruangan kakaknya, pintu ruangan itu sudah setengah terbuka. Ia mengetuk pelan dan masuk kedalam. Tampak ozy sedang sibuk membaca beberapa lembaran kertas tua, hanya diterangi lilin besar dimejanya.
Wajahnya kusam, matanya merah, ditambah rambutnya yang acak-acakan menunjukkan bahwa ozy sudah lama memusatkan pikirannya kelembaran kertas-kertas tua tersebut. Enam buah cangkir kopi yang kosong meyakinkan acha bahwa kakaknya belum tidur, bahkad kedatangan dan sapaannya sama sekali tidak mendapat perhatian dari ozy.
Acha berharap bisa menunggu winda disini, ia berusaha untuk tidak menganggu kakaknya. Ia bersandar dan menyilangkan kaki, lalu melirik selembar kertas disisinya dan membacanya. Ia sama sekali tidak mengerti isinya. Tapi setelah membaca ulang, ia baru menyadari tulisan tersebut ditulis tiga tahun lalu, yaitu pada tahun 498, dan bagian bawah kertas itu ditanda tangani oleh seseorang yang sedang ia selidiki, ony.
Hal-hal mengenai garinka. Apakah orang ini adalah seorang penulis? Apa yang sedang dipelajari ozy tentang orang ini? acha bertanya-tanya.
Pangeran ini menoleh dan tersenyum ketus. “cahaya remang-remang membuat pikiranku lebih mudah berkonsentrasi. Cahaya terang hanya membuatku mengantuk”
“mengapa kau tidak menghentikan kegiatanmu tadi malam dan tidur? Toh, kau bisa melanjutkannya pagi-pagi”
“urus saja dirimu sendiri!” jawab ozy tidak ramah.
Acha tidak terganggu dengan sifat kakaknya, malah ia tersenyum kecil ketika mendengar jawaban tidak ramah dari kakaknya. Perhatiannya lebih tertuju pada lembaran kertas yang dipegang ozy. Acha meraba permukaan kertas, memeriksa bahwa ini benar-benar tulisan tangan. Ia berkali-kali menggerakkan jarinya sesuai alur tanda tangan ony.
“ia adalah kaum abadi,” gumamnya pelan.
“bukan, ia bukan kaum abadi. Bahkan tidak ada kaum abadi,” sela ozy yang sekarang merebahkan kepala dan menutup matanya.
“ibu mengatakan kepadaku bahwa ia abadi. Bahkan duta juga berpendapat begitu.”
“rina dan ony abadi. Romi telah mati. Dibunuh oleh kedua anaknya tersebut. Menyedihkan mengetahui seorang ilmuwan hebat dibunuh kedua anaknya yang marah karena dijadikan abadi oleh orang tuanya. Ya, ilmuwan yang ingin kedua anaknya terhindar dari kematian, malah dibunuh. Anak-anaknya menolak dan marah telah dijadikan abadi.”
Acha mengangkat sebelah alisnya. Bagaimana anak bisa begitu tega membunuh orangtuanya sendiri? Pikirnya.
Ozy memijjit kepalanya sendiri kemudian kembali melanjutkan. “romi adalah satu-satunya ilmuwan yang menemukan ramuan untuk hidup abadi. Selain itu, ia adalah seorang peramal hebat. Beberapa ramalannya sudah terjadi. Semalaman aku membaca semua tulisannya dan menemukan sesuatu yang mengejutkan. Ramalan yang akan terjadi dalam waktu dekat. Dituliskan bahwa saat perayaan besar yang bertepatan dengan hilangnya tiga bintang dilangit, sebuah kota suci akan berada ditangan seekor ular berkepala tiga”
Acha mendengarkan. Ia kagum oleh ozy yang rela tidak mengistirahatkan tubuhnya karena mempelajari semua lembaran tulisan ini. jumlahnya mungkin ratusan lembar.
“aku belum paham. Sebenarnya ia meramalkan apa? Kota apa? Ular berkepala tiga sungguh tidak mungkin ada didunia ini”
Acha menarik napas panjang, lalu kembali membaca selembar kertas yang ditemukannya tadi. Sebenarnya, ia masih menunggu jawaban kakaknya, namun tidak sepatah kata pun terdengar. Ketika selesai membaca kertas itu, acha menoleh kearah kakaknya. Ozy sudah tertidur lelap. Acha mengelus kening kakaknya, sesuatu yang belum pernah dilakukannya. Kemudian ia mengambil selimut dari lemari dan menyelimutinya. Ia sadar bahwa selama ini ia salah menilai ozy. Selama ini ia menilai ozy hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak peduli pada rakyatnya. Ia sadar ternyata kakaknya mungkin lebih menyayangi rakyat daripada acha. Ozy rela menghabiskan waktunya untuk mempelajari semua yang berhubungan dengan stars. Dan semua ilmunya itu pasti akan menambah kemampuannya saat ia menjadi seorang raja. Kakakku akan menjadi seorang raja besar dalam buku sejarah garinka dan aku mungkin hanya disebut sedikit, pikirnya sambil duduk dan kembali membaca lembaran kertas yang berserakan dimeja kerja kakaknya.
Cahay obor koridor menyala, pasti seseorang telah menyalakannya. Acha merapikan meja kerja ozy dan menyusun rapi lembaran-lembaran kertas tua yang tadi berserakan dimana-mana. Itu pasti tante winda, pikirnya sambil berjalan keluar. Acha menutup pintu ruangan perlahan supaya kakaknya tidak terbangun. Ia mengetuk pintu ruangan winda dan menunggu sebentar. Beberapa detik kemudian, winda membuka pintu.
“selamat pagi, manis!” sapa winda sambil melipat selembar kertas selebaran kerajaan yang sepertinya sedang dibacanya barusan. Selebaran yang bisa dipajang dipapan-papan pengumuman kota oleh para pencari berita. Anggota kerajaan seperti winda pasti diistimewakan dan mendapat selebaran itu langsung secara pribadi. Wanita itu kemudian duduk dibelakang meja kerjanya yang luas dan elegan. Tidak seperti meja kerja ozy yang kecil dan selalu berantakan.
Ruangannya tampak sangat kuno, mungkin seleranya demikian. Di dinding-dindingnya terpajang banyak sekali penghargaan kehormatan dari stars, bahkan dari beberapa kerajaan garinka mungkin winda adalah penerima penghargaan kerajaan terbanyak dalam sejarah garinka. Acha duduk di sebuah kursi didepan meja kerja, berhadapan langsung dengan winda.
“ada apa kau datang kemari, putri?”
Acha menggigit bibirnya, takut diomeli bibinya. “aku meminta maaf karena kemarin tidak datang dikelas pertemuan kita tanpa kabar” ia diam sejenak memerhatikan wajah bibinya. “aku merasa tidak enak badan kemarin dan tertidur dikamarku” kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Entah apa yang dipikirkannya, kali ini ia telah membohongi bibi yang sekaligus gurunya.
“aku dapat mengerti dan menerima alasanmu,” jawab winda.
Hati acha seakan-akan meloncat girang ketika mendengar jawaban winda. Ia tidak akan kena omel karena bibinya memercayai alasannya. Kemudian dengan semangat ia bertanya. “sebenarnya apa saja ramalan yang ditulis diselebaran tentang kejadian itu, bibi?” acha mengalihkan oembicaraan.
Winda mengerutkan alisnya dan membolak-balik beberapa lembar selebaran itu. “aku belum membacanya, aku baru akan membacanya ketika kau mengetuk pintu”
Kalau aku disini, ia tidak akan membaca selebaran itu, pikir acha, kemudian ia berdiri. “aku pamit pergi, bibi, aku tidak ingin menggangumu. Sekarang kau bisa membaca selebaran itu sampai tuntas”
“baiklah, terima kasih atas kedatanganmu,” kata winda yang kemudian berdiri dan mengantarkan acha menuju pintu. “oh ya, karena kemarin kau tertidur selama berjam-jam dan tidak ikut makan malam bersama, kau harus memeriksakan tubuhmu. Dan kau minta maaf karena mulai hari ini aku tidak dapat mengajarimu lagi. Ayahmu memintaku untuk selalu menemaninya, kau dapat belajar ke duta.”
Saat itu juga acha menyadarinya bibinya mengetahui kebohongannya.
Membohonginya? Acha berkata dalam hati, lalu berbalik menatap bibinya, “maafkan aku, bibi!”
“bila kau tidak mau mengatakan alasanmu, tidak apa, aku pasti akan mengerti. Tapi kau seharusnya tidak berbohong,” kata winda dengan intonasi rendah. “kebohongan adalah hal kecil yang tanpa disadari akan benar-benar merusakmu. Berbohong hanya dilakukan orang yang tidak bertanggung jawab. Kebohongan hanya akan berlanjut ke kebohongan berikutnya, acha”
Acha tidak berani memandang wajah bibinya. Rasa sesalnya semakin besar. Sesekali ia ingin menyela perkataan bibinya, tapi tidak berani. Ia merasa berada dalam masalah yang serius. Apalagi ketika bibinya menutup pintu ruangan sebelum acha menjelaskan dan meminta maaf. Acha berjalan lesu dengan kepala tertunduk sepanjang koridor. Paman selalu tahu apa yang kulakukan, pikirnya.
***
Pukul 12 siang. Acha sudah berada diteras lantai dua istana untuk makan siang. Namun tak ada satupun anggota keluarga yang duduk diruang makan. Hanya ada winda dan duta. Sebenarnya ia sudah menduga kakak dan ibunya tidak akan hadir, tapi ia tidak menyangka ayahnya juga tidak hadir.
Selepas makan siang, acha bergegas menemui ayahnya. Mereka bercakap-cakap diruang kerja raja. Ditengah obrolan, tiba-tiba sang raja membicarakan rasa ingin tahu acha. “ozy bercerita kepadaku. Katanya kau akhir-akhir ini sangat ingin tahu tentang sejarah,” kata ayahnya. “seperti bukan anak perempuanku.”
Acha tertawa. “anak perempuanmu ini sudah besar. Dan kini kau tahu, banyak sekali yang harus kupelajari.” Kemudian ia menatap ayahnya tajam. “seharusnya aku yang bertanya kepada ayah. apa yang sedang ayah khawatirkan?” ia memasang muka tegas ketika gabriel mengangkat bahu dan menggelengkan kepalanya. “jangan bohong. Aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu, pasti ada yang sedang ayah pikirkan.”
Gabriel membuka kedua tangannya kemudian bergumam. “aku kehilangan acha kecilku.” Gabriel menatap putrinya. “mengkhawatirkan sesuatu, tidak juga. Memang ayah sedang berpikir. Hanya beberapa masalah kerajaan yang belum terselesaikan”
Wajah acha melembut. Ia menatap ayahnya. “aku tahu beberapa berita dan ramalan yag beredar. Tentang cardan murni, tentang moon. Tapi ayah harus tetap kuat. Rakyat membutuhkan ayah.”
“ya, acha, mungkin cahaya merah itu hanya fenomena alam biasa dan mungkin moon sudah tidak lagi ingin menguasai garinka,” ujar gabriel santai. “aku harus tenang. Ozy dan kau sudah siap untuk memimpin negeri ini, acha.”
“ayah, jangan main-main! Ayah tahu, kan, aku belum siap untuk itu? Hanya ayah yang mampu menghadapi semua itu.” Acha mulai merajuk. Gabriel tertawa. Pembicaraan ayah dan anak itu terus mengalir.
Setengah jam kemudian, winda dan duta datang menemui mereka. Mereka tampak habis berlari, duta memberi salam dan berujar, “baginda, seorang tahanan ditemukan mati tadi pagi.” Ia menghela napas pendek. “eksel, penghuni lantai terbawah,” lanjut winda.
Setelah mendengar hal itu, raja langsung berdiri menghampiri winda. “sebaiknya kita bicarakan ni ditempat lain.” Kemudian mereka berdua pergi keluar ruangan.
Berita tersebut mengejutkan acha. Begitupun duta, mereka baru saja bertemu dengan eksel kemarin. Mereka masih ingat betapa mengesalkannya orang itu. Pikiran mereka langsung tertuju ke tahanan yang kemarin mereka temui, ony.
“apa pikiranmu sama denganku?” tanya duta sambil duduk disebelah acha yang kebingungan mendengar berita tersebut. “ia diduga mati tercekik. Dilantai itu hanya ada tiga orang. Eksel, penjaga pos, dan ony.”
Acha menggigit bibir bawahnya. “ia mengatakan bahwa eksel akan menggangguku lagi”
“kau boleh menemuinya acha,” ujar duta tegas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar