Sabtu, 23 April 2011

Cardan Part 11

Shilla berjalan menuju pintu belakang istana yang akan membawanya menuju gerbang dan pulang. Kali ini langkahnya terasa berat, ia tahu, anak lelakinya tak akan lagi menunggu dirumah dan memijat punggungnya. Bahkan, siang tadi, ia merasakan sebuah firasat buruk tentang Ray.
***
          Pukul enam pagi keesokan harinya, Sivia, Shilla, serta beberapa pengawalnya siap berangkat dari Hinkal. Setelah mencium kening anak-anaknya dan mendapat persetujuan dari Gabriel, Sivia berangkat. Ia berbohong pada Gabreil tentang tujuannya, mereka bilang akan pergi ke sebuah ladang pertanian dekat Hinkal untuk mengamati perkembangan ladang. Sivia selalu berbohong tentang keberadaan Alvin dan kampnya, bahkan suaminya tidak mengetahui bahwa ia mempunyai indra keenam, yang membuatnya bisa mengetahui kejadian yang akan datang.
          Dengan mengendarai sebuah kereta kuda yang mewah dihiasi ukiran emas dan kursi busa berlapis kulit pilihan, mereka keluar dari Hinkal. Mereka akan menempuh kurang lebih dua jam perjalanan. Shilla yang duduk disebelah Sivia mulai resah.
          Apakah aku harus memberitahunya, ia bertanya-tanya dalam hati. Apakah ia akan marah?
          Sampai detik ini Shilla belum memberitahu permaisuri Sivia tentang Ray. Ia memandang wajah cantik Sivia yang kini disinari cahaya pagi. Namun Shilla masih belum mengatakannya. Bibirnya terasa selalu menutup dan melarangnya berkata-kata.
          Pandangannya terpaku melihat pepohonan yang dilaluinya. Pikirannya mencemaskan anak tunnggalnya. Kenangan pahit karena ditinggal ayah dan suami melekat dibenaknya. Kemudian ia tersenyum, betapa berarti keluarganya bagi Stars.
“permaisuri, ada yang ingin kusampaikan,” ujar Shilla lembut.
          Tak lama kemudian kereta kudanya berhenti.
“nanti saja Shilla, sekarang kita harus menemui Alvin terlebih dahulu!” jawab Sivia pendek, lalu turun dari kereta kudanya.
***
          Alvin dan Debo berdiri tegap memimpin barisan pasukan kereta kuda permaisuri memasuki kamp. Mereka serentak berlutut hormat ketika permaisuri Sivia membuka pintu dan turun dari kereta kudanya. Mereka baru berdiri ketika sang permaisuri meminta mereka berdiri. Alvin dan Debo mencium tangan Sivia sebagai sambutan ramah dari mereka.
          Kemudian mempersilakan permaisuri berjalan menuju tengah kamp. Mereka telah menyiapkan sebuah meja besar yang sekelilingnya dihiasi bunga-bunga.
          Sivia duduk dikursi utama. Tak lama kemudian datang beberapa orang yang membawa buah-buanhan dan sebotol anggur.
“maaf, tapi hanya ini yang bisa kami sajikan, yang mulia,” kata Alvin
“justru ini adalah sajian favoritku. Kau bisa tanya Shilla,” jawab Sivia sambil mengambil sebuah jeruk kemudian mengupasnya. “aku ingin bertemu dengan Cardan baru kita dan....mmmm....kemana jendral kesayanganku?”
          Alvin terdiam, kemudian menatap Shilla yang duduk disebelah sang permaisuri. “Deva kemarin cedera sewaktu menangkap hewan tempur kami.” Alvin kembali menghentikan penjelasannya sebentar karena sang permaisuri memandangnya serius. “dan Cardan baru kita pun ikut cedera karena membantu Deva. Sekarang mereka sedang dalam perawatan intensif ditenda medis kami.” Alvin memandang Shilla. “maafkan kamu, Shilla”
          Mendengar hal itu, Shilla terkejut lalu menoleh ke arah Debo.
“dimana tenda medis itu?” sela Shilla sedikit lantang. Debo menunjuk kesebuah tenda besar yang berada belasan meter disebelah kanannya. Shilla langsung berlari kesana.
          Sivia sedikit mengernyitkan alis ketika Shilla meninggalkannya tanpa permisi. “kenapa Shilla begitu terkejut, dan mengapa kau meminta maaf kepadanya?”
“apakah ia belum menceritakannya?” tanya Alvin kaget.
“Cardan baru itu adalah putranya Shilla.”
          Sivia menelan ludah. Ia tidak menyangka bahwa telah lahir satu calon pahlawan lagi dari keluarga Shilla. Padahal ia tahu, semenjak suaminya meninggal, Shilla menginginkan keluarganya hidup tenang tanpa mengenal perang lagi. Bahkan minggu lalu, Shilla menceritakan rencananya untuk memasukan anaknya ke sebuah universitas di Stars. Ia pasti sedih dan gundah, pikirnya.
          Kemudian Sivia mencoba mengingat rupa anak Shilla. Sivia sudah lupa, karena sudah tiga belas tahun tidak bertemu. Terakhir, Shilla membawanya ke istana ketika usianya lima tahun. Seorang anak pemalu dan pendiam, ingatnya. Dulu ia suka berada ditaman istana bersama Ozy dan Acha. Anak itu sulit membaur dan hampir tidak pernah benar-benar bermain bersama kedua anaknya. Anak itu hanya duduk dan memandang langit. Ya, itu kebiasaannya. Anak itu pasti sudah tak mengenalku, pikir Sivia. Ia lalu berdiri.        
***
          Deva, Ray, Edgar, dan Nico masih belumboleh turun dari ranjang. Tubuh mereka membutuhkan istirahat. Banyak sekali luka memar dan perban ditubuh mereka. Para ahli medis dan penyihir selalu mengawasi  perkembangan mereka setiap saat. Bahkan Gita sudah semalaman mengompres punggung tangan Deva yang bengkak. Sebenarnya, Deva, Ray, Edgar, Nico, serta Gita telah sadarkan diri, bahkan keempatnya sudah bercakap-cakap ringan walau masih terbaring diranjang.
          Tiba-tiba Shilla masuk kedalam tenda dan menoleh kanan-kiri, mencari Ray. Matanya langsung berair ketika melihat Ray sedang terbaring diranjang ketiga, dengan dada penuh perban dan mata kiri yang lebam. Ray menyambutnya dengan senyum kecil. Shilla meletakkan jemarinya dibibir Ray ketika Ray hendak menyapanya.
“sudah, nak. Simpan dulu tenagamu!” ujar shilla disertai beberapa isakan kecil. “maafkan ibu!”
          Mendengar perkataan ibunya, Ray menggelengkan kepala. Ia tahu bahwa ini adalah pilihannya. Ia senang bisa mengalami pertarungan dalam beberapa hari ini. Pertarungan yang sangat penting baginya.
          Ibunya pernah bilang, kini dunia membutuhkan seorang ilmuwan, “dan itu yang uharapkan darimu,” ujar Shilla waktu itu. Namun Ray tidak mau menghabiskan hidupnya sebagai ilmuwan. Ia sangat mengagumi sosok ayahnya dan ingin menjadi seorang jendaral perang seperti ayahnya.
          Ray tahu kejadian kemarin adalah sebuah berkah besar baginya. Kini ibunya sudah tidak dapat lagi melarangnya untuk melajar bela diri dan menjadi seorang ksatria. Sekarang banyak orang yang menaruh harapan besar kepadanya, dan ia belum tahu apa yang sebenarnya harus ia hadapi.
          Sesaat kemudian, Alvin masuk dan duduk disisi ranjang Ray.
“ia anak yang sangat kuat. Ia akan segera pulih, Shilla.”
          Shilla masih membelai rambut Ray dengan lembut. Sorot matanya menunjukkan bahwa ia belum merelakan Ray menjadi sesuatu yang sangat tidak ia inginkan. Namun, dalam benaknya ia sangat bangga kepada anaknya. Usianya baru dua puluh tahun, tapi sudah terpilih menjadi Cardan. Sebenarnya, ia sudah tahu bahwa anaknya akan menjadi seseorang yang sangat special karena saat ia lahir, cahaya bintang Sanggu sangat terang dan mengalahkan cahaya dua bintang lain. Joan dan colt hampir tidak terlihat. Tubuh ray diselimuti cahaya merah dan beberapa peramal datang untuk memberi bayi kecilnya penghormatan. Bahkan, waktu itu Gabriel dan Sivia langsung mencium Ray. “inilah anak dari pahlawan kita!” sambut mereka.
***
          Shilla berdiri disisi tebing disekitar kamp, memandang hutan Dio yang terlihat jelas dari sana. Pikirannya tertuju ke ayah dan suaminya. Apakah ini takdirku? Pikirnya sambil memandang langit. Kerudung ungunya hampir terbang tertiup angin. Sudah sekitar setengah jam ia berada disana, dan ia sempat meneteskan air mata. Matanya tertutup ketika angin dingin datang bertiup ke wajahnya. Aku bangga kepada mereka semua, pikirnya.
          Tak lama kemudian permaisuri Sivia menghampirinya, berdiri disamping kanan dan menggenggam tangannya. Rambut panjangnya terurai bergelombang tertiup angin. Wajahnya yang putih terangkat menghadap angkasa. “ia dapat mengalahkan mereka,” ujarnya pendek pada Shilla.
          Shilla menyentuh liontin pernikahannya. “Ray,” gumamnya pelan. “dua lelaki yang sangat kucintai.”
          Mendengar itu, Sivia menoleh dan menatap lembut. “ya, Ray. Dua lelaki yang pernah dan sedang sangat dibutuhkan Garinka.” Ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutup wajahnya karena tertiup angin. “anakmu akan baik-baik saja. Benakku mengatakan jalannya masih panjang. Jadi, kau tidak perlu khawatir kehilangannya.”
“aku sudah pernah merasakan kehilangan,” jawab Shilla pendek. “kini, ia bukan milikku seorang. Tapi milik seluruh negeri.”
          Sang permaisuri semakin erat menggenggam tangan pelayan sekaligus sahabatnya itu. Ia tidak ingin lagi mengeluarkan kata-kata. Shilla butuh ketenangan. Ia akan hanya berada disisinya, menemaninya memandang langit dan merasakan angin siang itu.

Cardan Part 10

Siang ini, Deva ditugaskan Alvin untuk menangkap seekor hewan dipedalaman hutan. Menangkap hewan yang mempunyai kekuatan tempur bukanlah tugas ringan.
          Deva menjelaskan rencananya kepada anggota tim. Terdiri dari Ray, Gita, dan dua orang pemuda pilihan Alvin: Nico dan Edgar. Ray menggantikan Cakka yang hingga kini belum kembali, sejak pertarungan malam itu. Ray dipersilakan membawa pedangnya kembali. Mereka harus pergi kedalam gua yang menurut perkiraan Deva adalah tempat tinggal hewan tersebut.
          Setelah kurang lebih setengah jam Deva mempersiapkan timnya, mereka berangkat dari kamp pelatihan. Berjalan menyusuri jalan setapak hutan, Deva berada paling depan dengan membawa barang kesayangannya, yang sudah tampak hitam dan berkarat, namun uniknya masih bisa memotong dan membabat batang-batang pohon yang menghalangi jalan mereka. Gita berjalan dibelakangnya, kemudian Ray, lalu Edgar. Nico terbang diatas mereka. Perjalanan panjang yang cukup melelahkan, karena mereka harus melewati beberapa bukit.
***
          Deva dan regunya menunggu hewan itu diluar gua, dibalik batu besar. Ketika menit-menit berlalu, hewan itu tidak juga muncul, ia menyuruh regunya beristirahat sebentar. Untunglah, ia seorang pencari jejak yang handal, ia menggengam tanah lalu mengendusnya. Insting yang sudah membantunya selama bertahun-tahun kini memberitahunya bahwa hewan ini ada di sekitar mereka dan sedang mengawasinya.
          Dengan cermat Deva mengamati semua sela yang dapat membantunya menemukan hewan tersebut. Seekor anjing hitam besar, kutipnya dalam hati sebagaimana perkataan Alvin. Ia berjalan sendiri mengitari tempat tersebut, memeriksa semua kotoran, tetesan air, bahkan setiap batang pohon yang patah.
          Beberapa bulan lalu ia berhasil menemukan dan menangkap Warcliff dan sukses melatihnya menjadi seekor hewan tempur. Kali ini ia pun berharap demikian. Namun sepertinya ia harus menunggu beberapa jam lagi untuk menemukan hewan ini. Ia melihat jejak yang tampak baru saja ditinggalkan, jejak menjauh dari gua. Mungkin ia pergi umtuk minum atau mencari makan, pikirnya sambil menuju regunya yang sedang beristirahat.
          Ray tidak keberatan memakai waktu istirahatnya untuk memijat pergelangan kaki kiri Gita yang tadi sempat terkilir ketika meniti bebatuan di pinggir sungai. Ia melepaskan sepatu kulit Gita yang tingginya selutut. Walaupun mempunyai kekuatan menyembuhkan, Gita tidak dapat menyembuhkan dirinya sendiri. Kakinya terkilir.
          Selama satu jam mereka menunggu hewan itu muncul dan kembali kesarangnya. Sekarang sudah pukul lima sore, Deva tahu bahwa akan semakin sulit menangkapnya bila matahari sudah tenggelam. Hewan ini mungkin mempunyai penglihatan lebih tajam dari mereka semua pada malam hari. Deva masih berdiri menatap matahari yang sebenatar lagi akan menghilang.
          Tiba-tiba terdengar suara dari sela-sela rerumputan. Deva mengisyaratkan regunya untuk bersiap dan berjaga. Dengan langkah kaki ringan, Deva mendekatisumber suara tadi. Ia berjalan perlahan dan nyaris tak bersuara, jarak antara dirinya dan sumber suara tadi kini tinggal selangkah lagi. Kedua matanya tetap sigap melihat setiap gerakan. Kemudian ia melompat ke atas reruputan tadi.
          Regunya yang dari tadi hanya memerhatikan, mulai gusar karena Deva tak lagi terlihat oleh mereka. Mereka berempat berjalan mendekat, hampir sama dengan cara Deva tadi, mencari tahu apa yang terjadi dengan Deva. Namun, beberapa detik kemudian, Deva berdiri dan tangannya sudah ada seekor anak tupai. Keempatnya bersamaan menghela napas lega melihatnya.
“hanya seekor anak tupai yang jatuh”
          Deva tersenyum sambil membelai-belai anak tupai tersebut.
“Nico, coba kau terbang dan cari jejak hewan itu!”
          Mendengar perintah dari gurunya, Nico bersiap terbang. Seperti biasa ia memulainya dengan menghentakan kakinya, kemudian mendorongnya ke udara. Tapi belum sampai dua meter ia terbang, seekor hewan besar berwarna hitam menerkamnya dari balik semak dibelakangnya. Deva ternganga melihat hewan besar yang tenyata seekor anjing yang sangat besar. Tingginya dua kali lipat tinggi Deva. Wajahnya bengis, matanya bulat hitam menyorot tajam. Hidungnya pesek dan berair. Pipinya jatuh karena kulitnya yang kendur, sangat menakutkan bila ia terlihat menggeram, menunjukkan gigi-giginya yang mengilat. Hewan itu menggigit tangan kanan Nico dan membanting-bantingnya ke tanah. Keempat kakinya berdiri kokoh.
          Deva langsung melentingkan badan, melompat ke punggung  anjing itu dan menggenggam erat kedua telinganya. Deva menarik-narik kedua telinganya untuk mengalihkan perhatian. Tapa komando, Ray dan Edgar memukul-mukul kedua kaki depan anjing tersebut. Ray yang kiri dan Edgar yang kanan. Gita melemparkan bola apinya pada wajah anjing tersebut.
“tembak matanya!!” seru Deva kepada Gita
          Gita berkonsentrasi untuk melepaskan bola apinya. Ia membuka tangan kanannya, seperti sedang menggengam sesuatu, beberapa saat kemudian sebuah bulatan api berwarna biru tercipta genggamannya. Ia melemparkannya, tepat mengenai mata anjing tersebut. Anjing itu melepaskan gigitannya dan melolong kesakitan. Badannya meronta. Deva melompat dari punggungnya, kemudian Ray dan Edgar berlari, lalu berdiri disebelahnya. Gita menyeret tubuh Nico menjauhi anjing itu dan mencoba memulihkan lukanya.
          Anjing itu marah. Berdiri berhadapan dengan Ray, Deva, dan Edgar. Ia menyeringai, menunjukkan giginya yang rapi dan tampak tajam untuk mengoyak daging. Mereka bertiga menggenggam erat senjata masing-masing, bersiap memulai pertarungan.
          Deva berlari, kemudian melompat dan berhasil menampar wajah anjing tersebut dengan sisi parangnya, lalu berpijak ke dahinya, kemudian kembali melompat ke tanah. Ray dan Edgar mengepung hewan ini dari dua sisi. Mereka harus menangkapnya hidup-hidup, sehingga mereka harus berhati-hati melumpuhkannya. Jangan sampai serangan mereka membunuh anjing tersebut.
          Ray bersiap menyerang bagian perut anjing, namun belum sampai memukul, anjing ini mengelak, kemudian menginjak dada Ray dengan kaki kanan depannya. Ray memukul-mukul telapak kaki yang sekarang menekan dadanya keras sekali, kuku-kukunya merobek baju Ray dan menggore kulitnya.
          Edgar mencoba mengalihkan perhatian anjing itu dengan cara melempar cakramnya, mengenai wajah anjing tersebut. Namun cakram terlempar begitu saja ketika mengenai sasaran, sama sekati tidak memberi efek apapun pada makhluk itu. Anjing itu membalas, menendang Edgar dengan kaki kiri depannya. Dan saat anjing itu akan menggigit tubuh Edgar, Deva menyelanya dengan naik kembali ke tubuh hewan itu dan menusuk-nusukkan mata tumpul parangnya ke lehernya. Anjing besar tersebut membalikkan wajahnya lalu menatap Deva. Deva berjalan mundur perlahan, anjing itu mengikutinya berjalan maju dengan tempo yang sama. Ini adalah seekor monster, pikirnya sambil merangkak menjauh.
          Tanpa sepengetahuan anjing ini, Deva menempatkan tangan kanan pada punggungnya. Jarinya memberi isyarat pada Gita yang berada dibelakangnya. Tak lama, tangan kanannya mengepal dan Deva melompat tinggi. Dalam waktu bersamaan, Gita mengarahkan kedua tangannya kearah anjing tersebut, berusaha menghentikan pergerakan hewa besar ini, sama seperti saat ia menghentikan Ray pada saat bertanding di kamp. Lalu Deva melesat dari udara dan memukulkan gagang parangnya ke ubun-ubun anjing hitam itu. Membuatnya lunglai dan badannya yang besar jatuh ketanah. Deva berhasil membuat anjing tersebut tak sadarkan diri kemudian ia menyuruh Gita membakar suar untuk memberi tanda kepada Alvin.
          Tak lama, asap biru muncul dari suar yang barusan dibakar Gita. Edgar memeriksa Ray yang belum bisa menggerakkan badannya. Luka cakaran di dadanya mengeluarkan darah yang terus mengucur. Edgar memintanya tetap tenang. Deva mendekati anjing itu. Ia tertarik dengan kalung yang melingkar dilehernya. Ia merabanya dan mengamati liontin yang tergantung. Chiby, mungkin ini namanya, pikirnya.
          Namun tiba-tiba anjing tersebut kembali membuka kedua matanya. Tatapannya tajam mengamati pria yang ada didepannya. Anjing tersebut perlahan kembali berdiri. Deva sama sekali tidak mengerti bagaimana makhluk hitam ini bisa bangkit lagi. Mata Deva melebar kaget, mulutnya menganga. Ia mencoba melangkah mundur dan anjing tersebut melangkah maju dengan hidung hitamnya yang tepat didepan muka Deva.
“oh, sialan,” gumam Deva pelan.
          Langkahnya terhenti saat kakinya terantuk sebuah batu. Gita dan Edgar yang tenaganya sudah terkuras habis tak dapat berbuat apa-apa melihat gurunya tersudut.
***
          Meditasi Cakka tak tenang, penuh pikiran yang menganggu. Ia masih tak dapat melupakan wajah Ray dari benaknya, dua kekalahannya masih berbekas. Tubuhnya tegak, kedua tangannya merentang datar, kuda-kudanya kokoh, dan ia memejamkan matanya untuk bermeditasi.
          Sudah dua jam ia mencoba tapi selalu oleh rasa kesalnya. Ia mengembuskan napas pendekdan membuka matanya. Ia melihat Alvin duduk santai dibawah pohon rindang tepat dihadapannya.
“apa yang kau lakukan disini?” tanyanya sambil menghampiri Alvin lalu duduk disebelahnya.
“aku ingin tahu keadaanmu.” Alvin tersenyum. “mengapa kau tidak melanjutkan meditasimu?”
          Cakka diam. Kemudian ia memetik sehelai rumput dan menggigitnya. “aku kesal pada diriku sendiri. Kenapa aku bisa sangat mudah dikalahkan olehnya? Padahal belum ada orang seumuranku yang mampu mengalahkanku. Aku kecewa dengan diriku. Mengapa aku bukan seorang Cardan seperti dirinya?”
          Alvin tertawa. “kau harus mendengar ceritaku”
          Lalu ia menyandarkan kepalanya pada batang pohon dibelakangnya. “dulu waktu aku seumuranmu, aku diterima di akademi militer Stars. Aku berangkat dari desaku dengan kepala tegak penuh percaya diri, karena belum pernah ada didaerahku yang menang bertarung denganku. Jumlah siswa yang diterima waktu itu lima ratus orang, dan hanya setengahnya saja yang lulus dan menjadi pasukan muda Stars. Dan kau tahu? Aku mendaftar masuk di divisi bela diri bukan sihir.”
“benarkah?” kata Cakka, suaranya bernada kaku.
“ya, karena aku pemenang didaerahku, aku sangat percaya diri dengan ukuran tubuhku. Itupula yang membuatku yakin saat bertemu siswa lainnya. Aku adalah siswa yang bertubuh paling tinggi diangkatanku, dan dulu aku sukan mengejek dan megolok-olok Debo yang tingginya kurang lebih sepinggangku. Bukan dia saja yang kurendahkan, setiap siswa yang menurutku lemah pasti pernah merasakan ejekanku. Aku menjadi orang yang dibenci teman-teman seangkatanku. Dan mereka semakin menjauhiku ketika aku kalah dalam sebuah latih tanding.”
“aku ingin tahu siapa yang mengalahkanmu?” tanya Cakka sigap.
“Debo!” lalu Alvin tersenyum kecil.
“bayangkan...aku kalah telak oleh orang yang selalu kuejek dan yang tingginya hanya sepinggangku.”
          Cakka mulai mengerti maksud cerita Alvin, alisnya mengangkat sebelah dan memandang Alvin. “aku mulai tahu maksudmu. Tapi kasusku berbeda denganmu. Aku tidak kalah oleh teman seperguruanku yang telah berlatih bela diri lama. Aku kalah oleh seorang entah kenapa tiba-tiba mendapatkan sebuah kekuatan besar. Itu tidak adil bagiku.”
“kau salah! Ray tidak andal bertarung karena menjadi seorang Cardan. Ia telah bertahun-tahun menimba latihan bela diri yang aku yakin sangat keras. Aku tahu itu karena aku kenal guru yang telah mengajarinya selama ini,” jawab Alvin dengan intonasi tinggi. “gurunya adalah Duta. Ia adalah guru Debo dan Deva, bahkan beberapa jendral perang lain pun pernah menjadi muridnya. Dan kau tahu, ia adalah seorang pahlawan besar bagiku dan bagi rakyat Stars.”
          Cakka terkejut menyadari bahwa ia salah. Alvin berganti memandang Cakka. Ia tahu bahwa anak ini mempunyai harga diri yang sangat dijunjungnya dan perasaan yang sangat sensitif. Anak ini mungkin sangat ingin menjadi Cardan, pikir Alvin
“kau tahu, baru lima tahun lalu aku terpilih menjadi seorang Cardan. Dan sebagai tambahan, Deva bukanlah seorang Cardan tapi ia bisa terpilih menjadi seorang jendral.”
          Cakka ragu-ragu, lalu bertanya dengan nada rendah. “benarkah itu?”
“kau harus meyakinkan dan menunjukkan kemampuanmu kepada mereka yang dilangit sana bila kau ingin terpilih menjadi seorang Cardan. Menjadi Cardan bukan sekedar kemampuan fisik, tapi jiwamu juga menjadi pertimbangan. Bukan tentang apa yang kau dapatkan, tapi tentang apa yang bisa kau beriakan. Bukan tentang apa yang kau inginkan, tapi tentang apa yang kau butuhkan. Lagipula kau juga harus mengemban kewajiban yang sangat besar.” Alvin sebentar menghentikan perkataannya, memerhatikan Cakka yang tampak sangat menyesal.
“aku bangga padamu kemarin malam. Kau dapat megimbangi Cardan Murni, murid pahlawan Stars. Aku rasa keputusannya seri, kau tidak kalah dan juga tidak menang.”
          Pembicaraan mereka terhenti, Alvin berdiri ketika melihat gumpalan asap biru yang mengepul ke udara. Kemudian ia memberi tahu Cakka bahwa itu adalah tanda panggilan untuknya dari Deva. Lalu ia menceritakan tugas yang diberikannya pada Deva. Tak lama kemudian Alvin menghilang dari pandangan Cakka menuju asap tersebut.     
***
          Napas Deva mulai habis, keringat dinginnya menetes, dan matanya tampak layu. Berbeda dengan anjing hitam itu, bibirnya bergetar marah dan pandangannya tajam. Dengan napas tersengal-sengal, Deva mengumpulkan semua kekuatannya yang masih tersisa dan mengumpulkannya ditangan kanannya yang mengepal. Kepalanya diselimuti jilatan api berwarna hijau. Mendadak ia memukulkannya ke rahang anjing tersebut, tepat dihadapannya. Kejadian itu bertepatan degan datangnya Alvin yang langsung berteriak untuk mencegah Deva, tapi terlambat. Anjing tersebut terjatuh lalu tak sadarkan diri, tanah disekitarnya bergetar ketika badannya membentur tanah.
          Alvin berlari menuju anjing tersebut dan langsung memeriksanya. Timbul kekhawatiran pada pukulahyang dihempaskan Deva. Ia membutuhkan hewan ini hidup-hidup. Akhirnya, ia dapat bernapas lega ketika tangannya meraba leher hewan tersebut dan merasakan denyut nadinya. Raut kekesalan tampak pada wajahnya, tapi kembali surut ketika melihat keadaan Deva dan anggota regunya yang lain. Deva tampak kelelahan dan kehabisan tenaga, Gita sibuk menghentikan pendarahan pada tubuh Nico. Lalu Ray dan Edgar terkapar ditanahpenuh luka. Deva terpaksa memukulnya, gumam Alvin dalam hati.
          Ia melihat wajah-wajah kesakitan mereka sambil memegang tangan Ray dan Edgar. Dengan ilmu menghilangnya, ia membawa keduanya menuju tenda medis di kamp. Kemudian ia kembali membawa Deva dan Nico. Terakhir ia membawa makhluk besar itu dan Gita.
          Kekhawatirannya memuncak ketika para ahli medis dan penyihir ditenda medis sibuk mengerahkan seluruh upayanya untuk memulihkan keempatnya. Ini tugas yang sangat berbahaya, salah satu dari mereka bisa kehilangan nyawa. Tak lama Gita dapat menenangkannya, kemudian Gite menjelaskan dengan gerakan tangannya tentang seluruh kejadian tadi. Alvin mengerti semua yang diceritakan muridnya. Ia seharusnya ada disana atau menugaskan lebih banyak orang. Ini bukan makhluk biasa, ini mungkin makhluk terkuat yang pernah ditangkap. Padahal, regu yang tadi ditugaskannya terdiri dari orang-orang yang dapat dikatakan terkuat dikampnya.
          Namun Alvin senang, ia dapat melatih hewan itu menjadi hewan tempur yang sangat hebat. Ia mulai membayangkan hewan itu berada di garis depan pasukannya pada sebuah peperangan. Kemudian Gita, Ray, dan Cakka akan menjadi sebuah tim yang hebat bila sudah menemukan kekompakkannya. Kita akan menang!

Cardan Part 9

Pukul setengah delapan malam, tidak seperti biasanya Acha sudah kembali kekamarnya. Malam ini dilewatkannya dikamar saja. Sebelumnya, ia telah melalui percakapan panjang dengan Duta dan ibunya tentang kunjungan ke penjara.
          Ketika sedang termenung dan menimbang ajakan Ony untuk kembali mengunjunginya besok, terdengar suara ketukan pintu. Ia tahu, itu Shilla. Ia menyuruhnya masuk. Shilla masuk dengan baju seragam warna merah muda, dan membawa tatakan makanan. Shilla membuatkan sup kacang kesukaan Acha dan segelas suss. Shilla meletakkan makan malamnya dimeja.
“terima kasih, Shilla.”
          Shilla menundukkan tubuhnya. “tadi Winda sempat menanyakan tuan putri,” kata Shilla ramah. “ia bertanya, mengapa tuan putri tidak makan malam bersama yang lain seperti biasanya.”
          Acha menggigit bibirnya. “apa ia terlihat kesal?”
“wajahnya biasa saja, tapi dari nada bicaranya, kukira ia mungkin sedikit kesal,” jawab Shilla. “aoa tuan putri melakukan kesalahan?”
“aku tidak mengikuti pelajaran sihir tadi. Dan aku tidak memberitahukan sebelumnya.” Jawab acha risau.
          Sorot keibuan terlihat jelas pada mata dan senyum shilla. “ia akan mengerti dan melupakan kesalahan putri, bila putri meminta maaf dan menjelaskan alasan sebenarnya.” Kemudian ia mohon diri pada acha.
          Acha menggaruk alisnya saat wanita itu memberi hormat lalu meninggalkan kamrnya. Aku akan dimarahi, pikirnya. Winda adalah seorang yang kolot dan sangat kaku. Pernah, acha terlambat datang dan membuat winda menunggu selama beberapa menit, akhirnya acha harus melewatkan setengah jam yang terasa sangat lama untuk mendengarkan omelan winda.
          Hari ini melelahkan, setelah menghabiskan makan malamnya, acha naik keranjang. Besok pagi saja menemui winda, pikirnya. Ia sangat lelah tapi tak bisa berhenti memikirkan ony, benar-benar orang yang menarik dan misterius. Ia ingat tentang ajakan ony dan ingin tahu apa yang diketahui ony tentang siafrik, walaupun ia sedikit gusar karena ony memintanya datang sendirian.
          Seorang yang sangat ramah untuk ukuran tahanan, pikirnya sambil memadamkan lampu.
          Apakah ia mengenal siafrik? Acha bertanya-tanya. Apakah ia tahu apa yang akan terjadi, di stars, bahkan di garinka?
          Ketika mulai terlelap, acha merasakan sebuah dering peringatan dialam bawah sadarnya. Ia menatap kegelapan, mencoba memberi tahu apa penyebabnya. Sepertinya ada sesuatu yang telah terjadi atau mungkin yang akan terjadi. Tapi apa?
          Sadar bahwa ia terlalu lelah untuk memusatkan pikirannya, acha berbalik, menarik selimutnya dan bersiap-siap tidur. Ia akan memikirkannya besok. Pasti masih banyak waktu, pikirnya, kemudian memejamkan matanya.

Cardan Part 8

Hari ini, meja makan dibalkon istana yang biasa dipakai untuk jamuan makan siang tampak sepi. Hanya ada gabriel, sivia, ozy, acha, winda, dan duta yang telah menjadi tamu istimewa keluarga. Suasana tak kalah sepi, hanya ozy dan ayahnya yang berbincang hangat. Acha masih muram.
“temukan ony!” tiba-tiba terdengar suara dihati acha.
          Acha meletakkan sendok dan garpunya. Ia mendengar suara itu lagi. Suara yang sudah seharian tidak didengarnya. Kali ini, ia menanggapinya dengan tenang. Kemudian ia memegang tangan kiri duta yang duduk disebelahnya. Acha berbisik kepada duta, “apa kau kenal ony?”
          Duta tersedak mendengarnya. Lalu ia membersihkan mulut-mulutnya. “dari mana kau tahu nama itu?” tanya duta pelan sambil memerhatikan yang lain, agar tidak mendengar pembicaraan mereka.
          Acha tiba-tiba berdiri dari kursinya.
“semuanya!” ujar acha. “aku dan duta telah selesai. Kini kamu akan melanjutkan pelajaran kemarin”
          Gabriel memersilakan acha meninggalkan meja. Duta gelengkan kepalanya karena ia sebenarnya belum selesai menyantap makanan. Acha menariknya keluar.
“kau harus belajar menghargai makanan.” Kata duta pelan, sambil berjalan mengikuti acha.
          Mereka berdua menuruni tangga dan menuju pelataran istana. Kemudian mereka duduk disana.
“apa kau kenal ony?” tanya acha lagi. “aku mendengar nama itu dari suara hatiku.”
“suara hatimu?” tanya duta.
“ya, aku berkali-kali mendengar suara dihatiku.”acha menjawab. “siapa ony?” tanyanya sekali lagi.
“kamu tidak boleh menyebut namanya sembarangan. Ia adalah penjahat berbahaya yang pernah ada didunia ini.” Duta menjawab pertanyaan acha dengan suara yang pelan. “aku belum pernah bertemy apalagi berkenalan.”
“huhhh....” acha sedikit kesal. “tapi kau tahu ceritanya, kan?”
          Duta menggaruk-garuk kepalanya.
“untuk apa kau tahu, sebenarnya apa yang dikatakan suara hatimu?”
          Acha terdiam, ia memerhatikan duta dengan saksama.
“aku bisa mendapatkan masalah karena ini,” ujar duta memelas. “yang aku tahu, ony adalah kaum abadi. Tak ada yang benar-benar tahu tentang dirinya. Katanya dia ada seorang penyihir hebat.”
          Acha tersenyum puas karena duta mau menceritakannya. Duta hanya memandang sambil menggelengkan kepala.
“dulu, ia pernah membuat kekacauan besar dinegeri ini. Tapi pasukan kita dapat menghentikannya.” Jelas duta. “kau puas?”
“lalu, dimana aku dapat menemukannya?” sela acha.
“duta tak akan dapat menjawabnya, tapi aku bisa,” ujar permaisuri sivia yang telah duduk disamping acha tanpa mereka sadari.
          Duta dan acha menjadi salah tingkah. Mereka berdua tahu bahwa mereka sedang membicarakan sesuatu yang sudah tak bisa disembunyikan lagi.
“sudahlah, aku tak akan mengadukannya pada siapa pun,” ujar sivia lembut. “putriku, kapan pertama kali kau mendengar suara itu?”
“dua hari lalu, ketika aku sedang berdoa,” jawab acha gugup. “apa kau tahu siapa itu?”
          Sivia membelai lembut rambut dan mencium kening putrinya, lalu duduk disebelahnya.
“itu adalah indra keenammu sayang.” Sivia menjawab pertanyaan acha dengan lembut. Tampak jelas bahwa ia sangat mencintai putrinya,. “hampir semua wanita dikelurga kita memilkinya.”
          Sekarang semua tampak jelas bagi acha. Duta menganggukan  kepalanya tanda mengerti.
“nenekmu dan aku memilikinya. Dan kini aku lega karena kau juga memilikinya,” ujar sivia. “tapi aku ingin tahu , saat kau mendengar suara tersebut, sebenarnya kau sedang mendoakan apa?”
“aku sedang mendoakan negeri kita, ibu.” Acha bangkit dari duduknya.
          Mendengar perkataan anaknya, permaisuri sivia hanya bertopang dagu. Kemudian acha bersujud dan memegang lutut ibunya.
“kurasa, suara tersebut memberikan sebuah jalan untuk menyelamatkan negeri kita!” seru acha tegas, “dan aku menyakininya!”
          Sivia tampak sedang berpikir keras. Ia mempunyai indra seperti putrinya, tapi ia belum mendapat pertanda seperti yang didapatkan putrinya. Lalu sivia memandang wajah putrinya.
“baiklah. Tapi apa kau benar-benar mendengar dengan jelas nama itu disebut?”
          Acha menganggukan kepala dan meremas lutut ibunya.
“baiklah. Kau ingin bertemu dengan ony?” sivia bertanya kepada acha. Acha sekali lagi menganggukan kepala, sedangkan duta hanya menggigit bibirnya. “kau tunggu disini! Aku harus mengurus perizinanmu. Bahkan, kau harus mempunyai surat izin kerajaan bila hendak bertemu dengannya”
          Kemudian sivia pergi. Acha sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia hanya termenung dan sabar menunggu.
***
          Acha sudah mulai tak sabar menunggu kedatangan ibunya. Ia berjalan mondar-mandir. Baru kali ini ia merasa seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa, sementara seharusnya banyak hal yang dapat diketahuinya sejak peristiwa dua hari itu.
          Tak lama kemudian, ibunya terlihat turun dari tangga, menuju pelataran istana. Wangi melati dari parfum ibunya langsung tercium oleh hidung.
“sekarang kau bisa bertemu ony. Tapi duta harus tetap menemanimu dan jam lima sore kau harus sudah kembali kesini,” ujar sivia kemudian tersenyum melihat acha yang melompatt girang ketika mendengar perkataannya.
“lalu dimana aku harus menemuinya, ibu?” tanya acha singkat. Ia memeluk ibunya sebagai ucapan terima kasih.
“dia berada dilantai terbawah penjara bawah tanah kita.”
          Acha melepaskan pelukannya. Ia harus pergi ke penjara stars, tempat yang dari kecil sangat ia takuti. Dalam benaknya, tempat itu adalah tempat yang sangat menegerikan. Dari kecil, ozy, kakaknya sering menakut-nakuti bahwa ia akan memasukannya kedalam tempat tersebut. Acha juga mengatakan bahwa ia akan bertemu penyihir jahat, bajak laut, perampok, atau monster berkepala tiga disana.
“ony sudah lama sekali mendekam dipenjara kita. Para pendahulu kita beruntung dapat menangkapnya.” Sivia menjelaskan dengan lembut. “bagaimana, putriku, kau masih ingin bertemu dengannya?”
          Sejenak acha memikirkannya. Ia mengusap wajah, kemudian memandang ibunya yang tersenyum manis menunggu keputusan darinya. Ia melihat duta menggelengkan kepala, pertanda tidak setuju.
“baiklah! Aku yakin duta akan menjagaku disana,” katany pada sivia. “keyakinanku sangat besar. Ia dapat diandalkan menghadapi masalah yang akan dihadapi.”
          Mendengar keputusan acha, duta menepuk dahinya. Ia tak mengerti apa yang ada dalam pikiran acha. Veteran perang sepertinya saja enggan masuk ke tempat seperti itu, sedangkan acha gadis mungil yang masih belasan tahun, malah memutuskan akan pergi kesana.
“kau tampak sangat yakin, kini aku tahu bahwa kau telah dewasa,” ucap sivia. “kau akan membutuhkan ini, agar para penjaga memperbolehkanmu masuk.”
          Sivia memberikannya selembar surat yang sudah ditanda-tangani dan distempel lambang kerajaan. Acha mengambilnya, kemudian memberikannya pada duta yang masih saja menepuk dahi dan sesekali mengibaskan syal tua yang menyelimuti lehernya.
“baiklah, ibu!” jawab acha sambil berlalu. “aku akan berada disini tepat jam lima nanti”
          Bak seorang anak kecil, duta hanya menurut ketika acha menuntunnya pergi. Ini bisa jadi pengalaman yang akan disesalinya, pikirnya sambil terus menundukan kepalanya. Mereka berdua berjalan mengitari halaman istana, menyusuri teras timur istana yang dihiasi tiang-tinag ukir besar yang menopang balkon lantai dua. Mereka menuju gerbang selatan istana, melewati banyak pegawai istana yang selalu menundukkan tubuh ketika bertemu sang putri sebagai tanda penghormatan.
          Sesampainya digerbang selatan, mereka melewati dua penjaga yang tidak berketa apa-apa dan langsung membukakan gerbang.
“antarkan kami kepenjara!” titah sang putri pendek. Ia memberikan surat ibunya kepada penjaga yang berbaju zirah lengkap dan dipersenjatai tombak khas stars tersebut.penjaga tersebut membaca sebentar, lalu menganggukan kepala dan memandu mereka menuju penjara. Sungguh, terlihat jelas bagaimana segannya pegawai istana kepada acha, mereka tidak berani untuk berkata-kata padanya dan selalu menundukkan kepala ketika menjawab semua pertanyaan sang putri.
          Acha dan duta berjalan dibelakang penjaga gerbang tersebut. Mereka berjalan melewati barak-barak pasukan. Acha terus menerus menutup hidung, para pasukan berlatih dan tidur ditempat ini, sehingga bau keringat mereka sangat menyengat.
          Anak ini masih sangat kecil, pikir duta lagi. Lalu merekaberhenti ketika pejaga tadi menemui penjaga pintu berikutnya. Untuk meminta izin, mereka harus memasuko ruangan kecil yang hanya cukup diisi dua orang. Tampak mereka berdua berbicara. Panjang lebar dan sesekali melihat kearah acha.
          Tak lama kemudian, keduanya berjalan kearah acha dan duta.
“selamat siang, tuan putri!” hormat penjaga tersebut sambil menundukkan badannya. “namaku irsyad, aku salah satu penjaga penjara ini. Mohon maaf, boleh kutahu maksud kedatangan tuan putri kesini?”
          Acha tersenyum membalas penghoramatannya lalu memberikan surat ibunya pada irsyad. Penjaga penjara tersebut membacanya dengan teliti, ia tidak mau wilayahnya dimasuki tanpa alasan yang jelas.
“tuan putri hendak bertemu dengan siapa?” tanya penjaga itu yang sepertinya berusaha untuk melembutkan suaranga yang serak.
“ony”
          Penjaga penjara itu tampak sangat terkejut. Mata kuningnya terbelalak dan tubuh besarnya sedikit bergoyang kebelakang. Ia tahu orang yangingin ditemui sang putri ini bukanlah orang sembarangan. Selnya pun berada dilantai paling bawah, dan selama ia bertugas, belum pernah ada yang ingin menemuinya.
          Duta menarik acha, memintanya membatalkan keinginannya sekali lagi. Acha tetap menolak, ia merasa harus menemui ony walau sebenarnya hal itu mengerikan baginya.
“maukah yang mulia menungguku sebentar disini” tanya irsyad. “aku mau membicarakannya terlebih dahulu dengan Obiet, atasanku, kepala penjaga penjara disini.”
          Acha hanya tersenyum dan mempersilakan irsyad menemui atasannya. Maksud kedatangannya bukanlah suatu yang biasa bagi para penjaga penjara, dan ia tahu betapa rumitnya proses birokrasi yang harus dilaluinya.
          Tidak lebih dari sepuluh menit, pria besar itu kembali menemui acha, ditemani oleh atasannya.
“selamat siang, yang mulia!” sapa pria tadi. “namaku obiet. Maaf telah membuatmu menunggu lama. Kedatanganmu sangat mengejutkan kami, tahanan yang ingin kau temui adalah seorang penjahat besar”
“aku telah mendapat izin dari ibuku,” jawab acha tegas.
“dan aku akan ditemani pengawalku”
          Obiet kembali membaca surat sivia dan kembali berdiskusi dengan irsyad;. Duta mulai beraksi, membujuk mereka agar mengizinkan acha menemui ony. Akhirnya, duta berhasil membujuk obiet. Mereka berdua masuk dalam kompleks penjara dengan pengawalan irsyad dan obiet.
          Pertama-tama mereka melalui kompleks penjara paling atas, yang masih berada diatas permukaan tanah. Ini penjara untuk para pelanggar hukum ringan, biasanya hanya pencuri yang berada dikompleks pertama ini. Mereka berhenti ketika melewati sebuah pos sektor. Obiet berbincang sebentar dengan penjaga pos tersebut, kemudian mereka diantar kepintu menuju penjara bawah tanah.
          Mereka berempat memasukinya, menyusuri tangga yang ukurannya sedikit lebih besar dari bahu pria dewasa, dengan dinding yang sudah diselimuti  lumut. Bulu kuduk acha dan duta langsung berdiri. Ruangan sesempit ini hanya diterangi oleh obor dikanan-kirinya, tanpa cahaya matahari sedikitpun.
“ini adalah lantai pertama,” ujar irsyad ketika melewati sebuah pintu. “kita masih harus melewati empat lantai lagi,” lanjutnya, kembali memandu acha dan duta, mengikuti obiet yang berjalan didepannya.
          Acha mulai membayangkan kejahatan apa yang telah dilakukan ony sehingga bisa mendapatkan hukuman dan mendekam seumur hidup ditempat seperti ini. Berada ditempat ini selama beberapa menit saja sudah membuatnya sangat tidak nyaman. Acha lalu memulai memikirkan apa yang akan dibicarakannya dengan ony.
          Mereka sampai dilantai paling bawah. Udara sanagt lembap dan dingin sehingga akan sulit bagi manusia biasa untuk bernapas bebas. Karena kelelahan, acha duduk disebuah kursi kayu tua yang ada disebelah pintu utama lantai ini. Ia menghela napas, mengusap dadanya yang sesak karena belum terbiasa dengan kondisi udara diruangan sempit ini. Duta bercakap-cakap dengan irsyad, membahas keamanan penjara ini. Obiet terlebh dulu memasuki ruangan penjara dan belum mengizinkan yang lain untuk ikut masuk.
“kau serius, ingin masuk kedalam?” tanya duta pada acha.
“kita masih bisa kembali keatas sana. Irsyad mengingatkan bahwa para tahanan disini mempunyai ilmu yang dapat membunuh para tamunya”
          Acha yang masih mengusap-usap dadanya berujar,”aku harus menemuinya”
          Kemudian obiet datang, ditemani seorang pria, penjaga lantai yang sudah puluhan tahun bertugas dan bertanggung jawab atas tahanan yang ada. Obiet menjinjing dua buah kalung batu berwarna putih dan memberikannya pada acha dan duta. Kalung itu harus dipakai, karena kekuatan batu lytro yang  ada dikalunh tersebut dapat menangkal semua ilmu sihir, menjaga keamanan acha dan duta.
          Setelah para tamu memakai kalung lytro, ia membuka pintu. Berbeda dengan lantai-lantai sebelumnya, ruangan ini sangat bersih dan terang. Banyak sekali bebatuan yang memancarkan cahaya warna-warni pada dinding dan langit-langit ruangan ini. Semua batu disini mempunyai kekuatan magis yang dapat melemahkan para tahanan dan mencegah mereka kabur. Mereka berjalan melewati sembilan ruangan yang ada dikanan-kiri, semua pintunya tertutup
          Duta bercanda dengan acha, “mungkin masih ada tempat bagi kita berddua”
          Acha menyikut duta dengan tangan kanannya, ia mulai tersenyum kecil dan mulai sedikit santai.
          Akhirnya, mereka berhenti diujung lorong, tepat didepan pintu ruangan tahanan ony. Lalu penjaga kompleks ini mengeluarkan beberapa kunci dari saku jubah tua berwarna coklat lusuh, dengan beberapa sobekan bekas jahitan gigitan tikus, yang dikenakannya.
“diruangan ini, hanya terdapat dua tahanan. Ony dan eksel, seorang kriminal,” jelas obiet pendek. “apa kalian sudah siap?”
          Acha dan duta hanya mengangguk. Detak jantung mereka berdengup cepat,, keringat dingin mulai membasahi kening. Suara kunci dan gagang pintu yang digerakkan oleh pria tadi terdengar begitu jelas dan semakin membuat mereka merinding. Acha mengenggam erat tangan duta. Ketika pintu mulai perlahan terbuka, terdengar seorang pria berteriak.
          Sebuah lorong sempit dengan empat buah sel yang tertutup rapat. Hanya ada sebuah lubang kecil berukuran sepasang mata dimasing-masing pintunya. Diempat sudut pintunya terdapat batu lytro sebagai pengaman. Sel ony adalah sel terakhir. Letaknya disisi kanan setelah sel eksel, yang masih berteriak-teriak marah dan memukul-mukul pintu selnya.
          Pria penjaga tadi menendang pintu sel eksel, menyuruhnya diam. Obiet berjalan memimpin acha dan duta, menyusuri lorong tersebut, menuju sel ony.
“aaaaakh, ada seorang gadis cilik disini,” teriak eksel. “datanglah padaku, sayang!”
          Mendengar itu, acha menutup teling dan memejamkan mata rapat-rapat. Duta langsung kesal, kemudian memukul keras pintu sel eksel. Namun tiba-tiba, ia terperanjat ketika muncul sepasang mata kuning lebar yang tampak sangat marah dilubang pintu eksel.
“kau beruntung berada diluar sana,” ketus eksel. “kelak aku akan membunuhmu”
          Duta melangkah mundur, lalu obiet merangkulnya dan berpesan untuk tidak menanggapi kata-kata eksel. Eksel dan ony mehir mempermainkan emosi. Disitulah kekuatan sihirnya.  Sudah lima orang penjaga sel terbunuh karena terpancing emosi dan membuat tahanan keluar dari selnya. Membutuhkan waktu dan upaya yang sangat melelahkan untuk memasukan mereka kembali kedalam selnya. Karena itulah, dilantai adagaris panjang berwarna merah sebagai batas pijakan, agar tamu tidak terlalu dekat dengan para tahanan.
          Obiet berpesan agar mereka tidak terlalu dekat dengan ony dan tetap berada diluar garis pembatas. Setelah duta dan acha mengiyakan, ia dan penjaga sel pergi keluar ruangan, meninggalkan mereka berdua.
“selamat datang ditempat tinggalku!” sapa seseorang didalam sel. “silakan duduk, kursinya ada tepat dibelakang kalian”
          Acha mengernyitkan keningnya, suara itu tidak seperti suara orang yang telah lama mendekam dipenjara. Suara tersebut terdengar seperti suara orang setengah baya yang halus dan merdu, benar-benar tidak menakutkan. Duta menggeser sebuah kursi  kayu panjang, cukup untuk tiga orang, menghadap pintu sel, sehingga mereka berdua bisa duduk terlalu jauh dari sel.
“tentunya kau sudah tahu namaku dan siapa diriku. Tapi aku belum tahu siapa kalian berdua dan maksud kalian mengunjungiku kemari”
“namaku acha, dan ini temanku duta.” Jawab acha, duduk pada kursi yang sudah tersedia. “aku punya banyak pertanyaan untukmu”
“acha....duta...,” sela eksel dari selnya, seluruh pembicaraan mereka dapat terdengar olehnya. “acha, maukah kau menemaniku semalaman disini?” eksel terus meracau.
          Acha menutup kedua telinganya lagi, kali ini matanya tampak berair, ketakutan mendengar intimidasi eksel. Duta yang sudah tidak menolerir eksel berdiri dari duduknya. Tapi tiba-tiba terdengar bunyi dentuman dari sel eksel.
“duta, kau bisa duduk kembali. Ia tak akan menganggu kita lagi,” ujar ony. “acha, apa yang akan kau tanyakan?”
          Acha membuka kembali  telinganya dan menarik tangan duta untuk duduk kembali menemaninya. Ia mencondongkan tubuh kedepan dan melipat kedua telapak tangan. Ia bingug, bagaimana ony bsa tahu duta sedang berdiri, sedangkan ia berada didalam sana dan tidak mungikn bisa melihat keluar.
“aku ingin bertanya, apa yang akan terjadi di garinka?” kata acha pendek.
          Pertanyaannya hanya dijawab tawa kecil ony. Acha kembali meremas paha kiri duta yang duduk disebelahnya. Baru saat ini, duta tampak serius sekali. Ia tidak lagi menguap dan tidak lagi menggaruk salah satu bagian tubuhnya, ia tampak serius mendengar pembicaraan acha dan ony.
“sudah lama sekali aku berada disini. Dan kini kau bertanya padaku apa yang akan terjadi diatas sana,” ony menjawab dengan nada kering.
          Acha menghela napas pendek dan menunjukkan wajah kecewa. Ini akan jadi sesuatau yang sia-sia, pikirnya. Ia baru sadar, bagaimana mungkin seorang tahanan yang telah lama mendekam dipenjara bawah tanah bisa tahu apa yang akan terjadi di garinka; itu hal yang tidak logis.
          Kemudian ia berdiri dan beranjak pergi dari tempat itu, duta mengikutinya. “maaf telah menganggumu,” sesal acha. “kau benar. Kini kami akan pergi”
“aku bohong!” sela ony. “aku tahu apa yang akan terjadi di garinka. Aku  tahu siafrik telah hidup kembali. Itu yang ada dibenakmu, bukan?”
“kau bisa kembali besok,” lanjut ony. “sendirian!”
          Acha tersenyum, emosinya bercampur antara lega dan kesal. Lega karena orang ini ternyata dapat membantunya, dan kesal karena esok ia harus kembali kesini, tempat yang tidak nyaman buatnya.
          Acha menggaruk telinga dengan jemarinya  yang mungil, “tapi...” lalu ia memandang pintu sel eksel yang sekarang sudah mulai kembali bergerak-gerak.
“eksel tak akan mengangumu lagi besok,” ujar ony datar. “kini kau pergi saja”
          Acha terdiam, kemudian ia dan duta berjalan melewati sel eksel menuju pintu keluar. Eksel kembali berteriak-teriak dan mengeluarkan kata-kata yang memancing amarah duta. Acha mengantisipasinya dengan menggenggam erat tangan duta dan menuntunnya.