Hari ini, meja makan dibalkon istana yang biasa dipakai untuk jamuan makan siang tampak sepi. Hanya ada gabriel, sivia, ozy, acha, winda, dan duta yang telah menjadi tamu istimewa keluarga. Suasana tak kalah sepi, hanya ozy dan ayahnya yang berbincang hangat. Acha masih muram.
“temukan ony!” tiba-tiba terdengar suara dihati acha.
Acha meletakkan sendok dan garpunya. Ia mendengar suara itu lagi. Suara yang sudah seharian tidak didengarnya. Kali ini, ia menanggapinya dengan tenang. Kemudian ia memegang tangan kiri duta yang duduk disebelahnya. Acha berbisik kepada duta, “apa kau kenal ony?”
Duta tersedak mendengarnya. Lalu ia membersihkan mulut-mulutnya. “dari mana kau tahu nama itu?” tanya duta pelan sambil memerhatikan yang lain, agar tidak mendengar pembicaraan mereka.
Acha tiba-tiba berdiri dari kursinya.
“semuanya!” ujar acha. “aku dan duta telah selesai. Kini kamu akan melanjutkan pelajaran kemarin”
Gabriel memersilakan acha meninggalkan meja. Duta gelengkan kepalanya karena ia sebenarnya belum selesai menyantap makanan. Acha menariknya keluar.
“kau harus belajar menghargai makanan.” Kata duta pelan, sambil berjalan mengikuti acha.
Mereka berdua menuruni tangga dan menuju pelataran istana. Kemudian mereka duduk disana.
“apa kau kenal ony?” tanya acha lagi. “aku mendengar nama itu dari suara hatiku.”
“suara hatimu?” tanya duta.
“ya, aku berkali-kali mendengar suara dihatiku.”acha menjawab. “siapa ony?” tanyanya sekali lagi.
“kamu tidak boleh menyebut namanya sembarangan. Ia adalah penjahat berbahaya yang pernah ada didunia ini.” Duta menjawab pertanyaan acha dengan suara yang pelan. “aku belum pernah bertemy apalagi berkenalan.”
“huhhh....” acha sedikit kesal. “tapi kau tahu ceritanya, kan?”
Duta menggaruk-garuk kepalanya.
“untuk apa kau tahu, sebenarnya apa yang dikatakan suara hatimu?”
Acha terdiam, ia memerhatikan duta dengan saksama.
“aku bisa mendapatkan masalah karena ini,” ujar duta memelas. “yang aku tahu, ony adalah kaum abadi. Tak ada yang benar-benar tahu tentang dirinya. Katanya dia ada seorang penyihir hebat.”
Acha tersenyum puas karena duta mau menceritakannya. Duta hanya memandang sambil menggelengkan kepala.
“dulu, ia pernah membuat kekacauan besar dinegeri ini. Tapi pasukan kita dapat menghentikannya.” Jelas duta. “kau puas?”
“lalu, dimana aku dapat menemukannya?” sela acha.
“duta tak akan dapat menjawabnya, tapi aku bisa,” ujar permaisuri sivia yang telah duduk disamping acha tanpa mereka sadari.
Duta dan acha menjadi salah tingkah. Mereka berdua tahu bahwa mereka sedang membicarakan sesuatu yang sudah tak bisa disembunyikan lagi.
“sudahlah, aku tak akan mengadukannya pada siapa pun,” ujar sivia lembut. “putriku, kapan pertama kali kau mendengar suara itu?”
“dua hari lalu, ketika aku sedang berdoa,” jawab acha gugup. “apa kau tahu siapa itu?”
Sivia membelai lembut rambut dan mencium kening putrinya, lalu duduk disebelahnya.
“itu adalah indra keenammu sayang.” Sivia menjawab pertanyaan acha dengan lembut. Tampak jelas bahwa ia sangat mencintai putrinya,. “hampir semua wanita dikelurga kita memilkinya.”
Sekarang semua tampak jelas bagi acha. Duta menganggukan kepalanya tanda mengerti.
“nenekmu dan aku memilikinya. Dan kini aku lega karena kau juga memilikinya,” ujar sivia. “tapi aku ingin tahu , saat kau mendengar suara tersebut, sebenarnya kau sedang mendoakan apa?”
“aku sedang mendoakan negeri kita, ibu.” Acha bangkit dari duduknya.
Mendengar perkataan anaknya, permaisuri sivia hanya bertopang dagu. Kemudian acha bersujud dan memegang lutut ibunya.
“kurasa, suara tersebut memberikan sebuah jalan untuk menyelamatkan negeri kita!” seru acha tegas, “dan aku menyakininya!”
Sivia tampak sedang berpikir keras. Ia mempunyai indra seperti putrinya, tapi ia belum mendapat pertanda seperti yang didapatkan putrinya. Lalu sivia memandang wajah putrinya.
“baiklah. Tapi apa kau benar-benar mendengar dengan jelas nama itu disebut?”
Acha menganggukan kepala dan meremas lutut ibunya.
“baiklah. Kau ingin bertemu dengan ony?” sivia bertanya kepada acha. Acha sekali lagi menganggukan kepala, sedangkan duta hanya menggigit bibirnya. “kau tunggu disini! Aku harus mengurus perizinanmu. Bahkan, kau harus mempunyai surat izin kerajaan bila hendak bertemu dengannya”
Kemudian sivia pergi. Acha sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia hanya termenung dan sabar menunggu.
***
Acha sudah mulai tak sabar menunggu kedatangan ibunya. Ia berjalan mondar-mandir. Baru kali ini ia merasa seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa, sementara seharusnya banyak hal yang dapat diketahuinya sejak peristiwa dua hari itu.
Tak lama kemudian, ibunya terlihat turun dari tangga, menuju pelataran istana. Wangi melati dari parfum ibunya langsung tercium oleh hidung.
“sekarang kau bisa bertemu ony. Tapi duta harus tetap menemanimu dan jam lima sore kau harus sudah kembali kesini,” ujar sivia kemudian tersenyum melihat acha yang melompatt girang ketika mendengar perkataannya.
“lalu dimana aku harus menemuinya, ibu?” tanya acha singkat. Ia memeluk ibunya sebagai ucapan terima kasih.
“dia berada dilantai terbawah penjara bawah tanah kita.”
Acha melepaskan pelukannya. Ia harus pergi ke penjara stars, tempat yang dari kecil sangat ia takuti. Dalam benaknya, tempat itu adalah tempat yang sangat menegerikan. Dari kecil, ozy, kakaknya sering menakut-nakuti bahwa ia akan memasukannya kedalam tempat tersebut. Acha juga mengatakan bahwa ia akan bertemu penyihir jahat, bajak laut, perampok, atau monster berkepala tiga disana.
“ony sudah lama sekali mendekam dipenjara kita. Para pendahulu kita beruntung dapat menangkapnya.” Sivia menjelaskan dengan lembut. “bagaimana, putriku, kau masih ingin bertemu dengannya?”
Sejenak acha memikirkannya. Ia mengusap wajah, kemudian memandang ibunya yang tersenyum manis menunggu keputusan darinya. Ia melihat duta menggelengkan kepala, pertanda tidak setuju.
“baiklah! Aku yakin duta akan menjagaku disana,” katany pada sivia. “keyakinanku sangat besar. Ia dapat diandalkan menghadapi masalah yang akan dihadapi.”
Mendengar keputusan acha, duta menepuk dahinya. Ia tak mengerti apa yang ada dalam pikiran acha. Veteran perang sepertinya saja enggan masuk ke tempat seperti itu, sedangkan acha gadis mungil yang masih belasan tahun, malah memutuskan akan pergi kesana.
“kau tampak sangat yakin, kini aku tahu bahwa kau telah dewasa,” ucap sivia. “kau akan membutuhkan ini, agar para penjaga memperbolehkanmu masuk.”
Sivia memberikannya selembar surat yang sudah ditanda-tangani dan distempel lambang kerajaan. Acha mengambilnya, kemudian memberikannya pada duta yang masih saja menepuk dahi dan sesekali mengibaskan syal tua yang menyelimuti lehernya.
“baiklah, ibu!” jawab acha sambil berlalu. “aku akan berada disini tepat jam lima nanti”
Bak seorang anak kecil, duta hanya menurut ketika acha menuntunnya pergi. Ini bisa jadi pengalaman yang akan disesalinya, pikirnya sambil terus menundukan kepalanya. Mereka berdua berjalan mengitari halaman istana, menyusuri teras timur istana yang dihiasi tiang-tinag ukir besar yang menopang balkon lantai dua. Mereka menuju gerbang selatan istana, melewati banyak pegawai istana yang selalu menundukkan tubuh ketika bertemu sang putri sebagai tanda penghormatan.
Sesampainya digerbang selatan, mereka melewati dua penjaga yang tidak berketa apa-apa dan langsung membukakan gerbang.
“antarkan kami kepenjara!” titah sang putri pendek. Ia memberikan surat ibunya kepada penjaga yang berbaju zirah lengkap dan dipersenjatai tombak khas stars tersebut.penjaga tersebut membaca sebentar, lalu menganggukan kepala dan memandu mereka menuju penjara. Sungguh, terlihat jelas bagaimana segannya pegawai istana kepada acha, mereka tidak berani untuk berkata-kata padanya dan selalu menundukkan kepala ketika menjawab semua pertanyaan sang putri.
Acha dan duta berjalan dibelakang penjaga gerbang tersebut. Mereka berjalan melewati barak-barak pasukan. Acha terus menerus menutup hidung, para pasukan berlatih dan tidur ditempat ini, sehingga bau keringat mereka sangat menyengat.
Anak ini masih sangat kecil, pikir duta lagi. Lalu merekaberhenti ketika pejaga tadi menemui penjaga pintu berikutnya. Untuk meminta izin, mereka harus memasuko ruangan kecil yang hanya cukup diisi dua orang. Tampak mereka berdua berbicara. Panjang lebar dan sesekali melihat kearah acha.
Tak lama kemudian, keduanya berjalan kearah acha dan duta.
“selamat siang, tuan putri!” hormat penjaga tersebut sambil menundukkan badannya. “namaku irsyad, aku salah satu penjaga penjara ini. Mohon maaf, boleh kutahu maksud kedatangan tuan putri kesini?”
Acha tersenyum membalas penghoramatannya lalu memberikan surat ibunya pada irsyad. Penjaga penjara tersebut membacanya dengan teliti, ia tidak mau wilayahnya dimasuki tanpa alasan yang jelas.
“tuan putri hendak bertemu dengan siapa?” tanya penjaga itu yang sepertinya berusaha untuk melembutkan suaranga yang serak.
“ony”
Penjaga penjara itu tampak sangat terkejut. Mata kuningnya terbelalak dan tubuh besarnya sedikit bergoyang kebelakang. Ia tahu orang yangingin ditemui sang putri ini bukanlah orang sembarangan. Selnya pun berada dilantai paling bawah, dan selama ia bertugas, belum pernah ada yang ingin menemuinya.
Duta menarik acha, memintanya membatalkan keinginannya sekali lagi. Acha tetap menolak, ia merasa harus menemui ony walau sebenarnya hal itu mengerikan baginya.
“maukah yang mulia menungguku sebentar disini” tanya irsyad. “aku mau membicarakannya terlebih dahulu dengan Obiet, atasanku, kepala penjaga penjara disini.”
Acha hanya tersenyum dan mempersilakan irsyad menemui atasannya. Maksud kedatangannya bukanlah suatu yang biasa bagi para penjaga penjara, dan ia tahu betapa rumitnya proses birokrasi yang harus dilaluinya.
Tidak lebih dari sepuluh menit, pria besar itu kembali menemui acha, ditemani oleh atasannya.
“selamat siang, yang mulia!” sapa pria tadi. “namaku obiet. Maaf telah membuatmu menunggu lama. Kedatanganmu sangat mengejutkan kami, tahanan yang ingin kau temui adalah seorang penjahat besar”
“aku telah mendapat izin dari ibuku,” jawab acha tegas.
“dan aku akan ditemani pengawalku”
Obiet kembali membaca surat sivia dan kembali berdiskusi dengan irsyad;. Duta mulai beraksi, membujuk mereka agar mengizinkan acha menemui ony. Akhirnya, duta berhasil membujuk obiet. Mereka berdua masuk dalam kompleks penjara dengan pengawalan irsyad dan obiet.
Pertama-tama mereka melalui kompleks penjara paling atas, yang masih berada diatas permukaan tanah. Ini penjara untuk para pelanggar hukum ringan, biasanya hanya pencuri yang berada dikompleks pertama ini. Mereka berhenti ketika melewati sebuah pos sektor. Obiet berbincang sebentar dengan penjaga pos tersebut, kemudian mereka diantar kepintu menuju penjara bawah tanah.
Mereka berempat memasukinya, menyusuri tangga yang ukurannya sedikit lebih besar dari bahu pria dewasa, dengan dinding yang sudah diselimuti lumut. Bulu kuduk acha dan duta langsung berdiri. Ruangan sesempit ini hanya diterangi oleh obor dikanan-kirinya, tanpa cahaya matahari sedikitpun.
“ini adalah lantai pertama,” ujar irsyad ketika melewati sebuah pintu. “kita masih harus melewati empat lantai lagi,” lanjutnya, kembali memandu acha dan duta, mengikuti obiet yang berjalan didepannya.
Acha mulai membayangkan kejahatan apa yang telah dilakukan ony sehingga bisa mendapatkan hukuman dan mendekam seumur hidup ditempat seperti ini. Berada ditempat ini selama beberapa menit saja sudah membuatnya sangat tidak nyaman. Acha lalu memulai memikirkan apa yang akan dibicarakannya dengan ony.
Mereka sampai dilantai paling bawah. Udara sanagt lembap dan dingin sehingga akan sulit bagi manusia biasa untuk bernapas bebas. Karena kelelahan, acha duduk disebuah kursi kayu tua yang ada disebelah pintu utama lantai ini. Ia menghela napas, mengusap dadanya yang sesak karena belum terbiasa dengan kondisi udara diruangan sempit ini. Duta bercakap-cakap dengan irsyad, membahas keamanan penjara ini. Obiet terlebh dulu memasuki ruangan penjara dan belum mengizinkan yang lain untuk ikut masuk.
“kau serius, ingin masuk kedalam?” tanya duta pada acha.
“kita masih bisa kembali keatas sana. Irsyad mengingatkan bahwa para tahanan disini mempunyai ilmu yang dapat membunuh para tamunya”
Acha yang masih mengusap-usap dadanya berujar,”aku harus menemuinya”
Kemudian obiet datang, ditemani seorang pria, penjaga lantai yang sudah puluhan tahun bertugas dan bertanggung jawab atas tahanan yang ada. Obiet menjinjing dua buah kalung batu berwarna putih dan memberikannya pada acha dan duta. Kalung itu harus dipakai, karena kekuatan batu lytro yang ada dikalunh tersebut dapat menangkal semua ilmu sihir, menjaga keamanan acha dan duta.
Setelah para tamu memakai kalung lytro, ia membuka pintu. Berbeda dengan lantai-lantai sebelumnya, ruangan ini sangat bersih dan terang. Banyak sekali bebatuan yang memancarkan cahaya warna-warni pada dinding dan langit-langit ruangan ini. Semua batu disini mempunyai kekuatan magis yang dapat melemahkan para tahanan dan mencegah mereka kabur. Mereka berjalan melewati sembilan ruangan yang ada dikanan-kiri, semua pintunya tertutup
Duta bercanda dengan acha, “mungkin masih ada tempat bagi kita berddua”
Acha menyikut duta dengan tangan kanannya, ia mulai tersenyum kecil dan mulai sedikit santai.
Akhirnya, mereka berhenti diujung lorong, tepat didepan pintu ruangan tahanan ony. Lalu penjaga kompleks ini mengeluarkan beberapa kunci dari saku jubah tua berwarna coklat lusuh, dengan beberapa sobekan bekas jahitan gigitan tikus, yang dikenakannya.
“diruangan ini, hanya terdapat dua tahanan. Ony dan eksel, seorang kriminal,” jelas obiet pendek. “apa kalian sudah siap?”
Acha dan duta hanya mengangguk. Detak jantung mereka berdengup cepat,, keringat dingin mulai membasahi kening. Suara kunci dan gagang pintu yang digerakkan oleh pria tadi terdengar begitu jelas dan semakin membuat mereka merinding. Acha mengenggam erat tangan duta. Ketika pintu mulai perlahan terbuka, terdengar seorang pria berteriak.
Sebuah lorong sempit dengan empat buah sel yang tertutup rapat. Hanya ada sebuah lubang kecil berukuran sepasang mata dimasing-masing pintunya. Diempat sudut pintunya terdapat batu lytro sebagai pengaman. Sel ony adalah sel terakhir. Letaknya disisi kanan setelah sel eksel, yang masih berteriak-teriak marah dan memukul-mukul pintu selnya.
Pria penjaga tadi menendang pintu sel eksel, menyuruhnya diam. Obiet berjalan memimpin acha dan duta, menyusuri lorong tersebut, menuju sel ony.
“aaaaakh, ada seorang gadis cilik disini,” teriak eksel. “datanglah padaku, sayang!”
Mendengar itu, acha menutup teling dan memejamkan mata rapat-rapat. Duta langsung kesal, kemudian memukul keras pintu sel eksel. Namun tiba-tiba, ia terperanjat ketika muncul sepasang mata kuning lebar yang tampak sangat marah dilubang pintu eksel.
“kau beruntung berada diluar sana,” ketus eksel. “kelak aku akan membunuhmu”
Duta melangkah mundur, lalu obiet merangkulnya dan berpesan untuk tidak menanggapi kata-kata eksel. Eksel dan ony mehir mempermainkan emosi. Disitulah kekuatan sihirnya. Sudah lima orang penjaga sel terbunuh karena terpancing emosi dan membuat tahanan keluar dari selnya. Membutuhkan waktu dan upaya yang sangat melelahkan untuk memasukan mereka kembali kedalam selnya. Karena itulah, dilantai adagaris panjang berwarna merah sebagai batas pijakan, agar tamu tidak terlalu dekat dengan para tahanan.
Obiet berpesan agar mereka tidak terlalu dekat dengan ony dan tetap berada diluar garis pembatas. Setelah duta dan acha mengiyakan, ia dan penjaga sel pergi keluar ruangan, meninggalkan mereka berdua.
“selamat datang ditempat tinggalku!” sapa seseorang didalam sel. “silakan duduk, kursinya ada tepat dibelakang kalian”
Acha mengernyitkan keningnya, suara itu tidak seperti suara orang yang telah lama mendekam dipenjara. Suara tersebut terdengar seperti suara orang setengah baya yang halus dan merdu, benar-benar tidak menakutkan. Duta menggeser sebuah kursi kayu panjang, cukup untuk tiga orang, menghadap pintu sel, sehingga mereka berdua bisa duduk terlalu jauh dari sel.
“tentunya kau sudah tahu namaku dan siapa diriku. Tapi aku belum tahu siapa kalian berdua dan maksud kalian mengunjungiku kemari”
“namaku acha, dan ini temanku duta.” Jawab acha, duduk pada kursi yang sudah tersedia. “aku punya banyak pertanyaan untukmu”
“acha....duta...,” sela eksel dari selnya, seluruh pembicaraan mereka dapat terdengar olehnya. “acha, maukah kau menemaniku semalaman disini?” eksel terus meracau.
Acha menutup kedua telinganya lagi, kali ini matanya tampak berair, ketakutan mendengar intimidasi eksel. Duta yang sudah tidak menolerir eksel berdiri dari duduknya. Tapi tiba-tiba terdengar bunyi dentuman dari sel eksel.
“duta, kau bisa duduk kembali. Ia tak akan menganggu kita lagi,” ujar ony. “acha, apa yang akan kau tanyakan?”
Acha membuka kembali telinganya dan menarik tangan duta untuk duduk kembali menemaninya. Ia mencondongkan tubuh kedepan dan melipat kedua telapak tangan. Ia bingug, bagaimana ony bsa tahu duta sedang berdiri, sedangkan ia berada didalam sana dan tidak mungikn bisa melihat keluar.
“aku ingin bertanya, apa yang akan terjadi di garinka?” kata acha pendek.
Pertanyaannya hanya dijawab tawa kecil ony. Acha kembali meremas paha kiri duta yang duduk disebelahnya. Baru saat ini, duta tampak serius sekali. Ia tidak lagi menguap dan tidak lagi menggaruk salah satu bagian tubuhnya, ia tampak serius mendengar pembicaraan acha dan ony.
“sudah lama sekali aku berada disini. Dan kini kau bertanya padaku apa yang akan terjadi diatas sana,” ony menjawab dengan nada kering.
Acha menghela napas pendek dan menunjukkan wajah kecewa. Ini akan jadi sesuatau yang sia-sia, pikirnya. Ia baru sadar, bagaimana mungkin seorang tahanan yang telah lama mendekam dipenjara bawah tanah bisa tahu apa yang akan terjadi di garinka; itu hal yang tidak logis.
Kemudian ia berdiri dan beranjak pergi dari tempat itu, duta mengikutinya. “maaf telah menganggumu,” sesal acha. “kau benar. Kini kami akan pergi”
“aku bohong!” sela ony. “aku tahu apa yang akan terjadi di garinka. Aku tahu siafrik telah hidup kembali. Itu yang ada dibenakmu, bukan?”
“kau bisa kembali besok,” lanjut ony. “sendirian!”
Acha tersenyum, emosinya bercampur antara lega dan kesal. Lega karena orang ini ternyata dapat membantunya, dan kesal karena esok ia harus kembali kesini, tempat yang tidak nyaman buatnya.
Acha menggaruk telinga dengan jemarinya yang mungil, “tapi...” lalu ia memandang pintu sel eksel yang sekarang sudah mulai kembali bergerak-gerak.
“eksel tak akan mengangumu lagi besok,” ujar ony datar. “kini kau pergi saja”
Acha terdiam, kemudian ia dan duta berjalan melewati sel eksel menuju pintu keluar. Eksel kembali berteriak-teriak dan mengeluarkan kata-kata yang memancing amarah duta. Acha mengantisipasinya dengan menggenggam erat tangan duta dan menuntunnya.