Senin, 21 Maret 2011

Oik Dan Tanaman Misterius Part 3


“bunyi apa itu?” seru oik
               Beberapa hari telah berlalu sejak ia menanam benih yang ditemukannya. Saat itu oik sedang membalut beberapa bunga violet yang kedinginan dengan sutra laba-laba. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh bunyi berisik seperti logam yang beradu.
Klontang! Klontang! Klontang!
               Oik menutupi telinganya dengan tangan. Bunyi itu berasal dari sisi lain kebunnya. Ia bergegas menghampiri.
               Tiba-tiba oik berhenti. Ia terkejut melihat keke duduk diatas mesin yang aneh.
               Mesin itu ada sadel dan pedalnya. Didepannya terdapat seperangkat gigi logam yang amat besar. Keke menumpahkan seember sampah sapur kedalam gigi-gigi itu. Lalu ia meletakkan kakinya dipedal dan mulai mengayuh. Semenatara kakinya bergerak, gigi logam itu mengunyah sampah tersebut.
Klontang! Klontang! Klontang!
“aku membuat makanan untuk benih kita!” seru keke lebih keras dari bunyi berisik mesin. Ia berhenti mengayuh dan mengangkat embernya untuk dilihat keke. Ember itu penuh dengan sisa sayur-mayur yang hancur.
“ini makanan bergizi untuk tanaman yang sedang tumpah,” ujar keke bangga.
               Bumble terbang berputar-putar di sekeliling oik. Ia pusing karena bunyi berisik itu.
“oh...kau baik sekali, keke,” ujar oik. Ia menatap mesin itu dengan ragu.
“hanya yang terbaik untuk tanaman kecil kita,” kata keke. Ia mengayuh lagi. Oik mengernyit dan menutup telinga.
               Sejak oik menanam benih misterius itu, setiap hari keke datang kekebun oik untuk menengoknya. Dan setiap kali, ia mendengar ide baru untuk mempercepat tumbuhnya tanaman itu.
               Suatu hari keke muncul membawa payung bunga aster. Ia bersikeras benih itu harus terlindung dari matahari. Keesokan harinya ia mengatakan benih itu kurang mendapat sinar matahari. Di sore hari, keke duduk di jamur berbintik-bintik, berbicara tentang benih itu dan menulis sesuatu dibukunya.
“tidak setiap hari kita menemukan tanaman baru,” kata keke pada oik.  “aku mencatat semuanya. Tahu sendirilah, untuk per-peri bakat kebun dimasa depan.”
               Oik hanya tersenyum. Keke satu-satunya peri bakant kebun yang suka membaca buku tentang kebun. Peri-peri lain hanya berkebun.
               Bagaimanapun, ia tidak bisa menyalahkan keke. Oik sendriri sama penasarannya, ingin tahu akan menjadi tanaman apa benih itu kelak.
               Keke akhirnya selesai menggiling sampah. Ia mengangkat ember berisi makanan tanaman itu dan pergi ketempat benih ditanam. Oik kembali merawat violetnya.
               Tiba-tiba didengarnya keke berteriak.
               Oik menjatuhkan sutra laba-laba yang dipegangnya dan berlari menuju jamur kembali. Mungkin keke mengalami kecelakaan. Tapi dilihatnya peri berhidung merah itu tersenyum lebar. “lihat, oik!” katanya terengah-engah. “sudah tumbuh!”
               Oik berpaling kearah yang ditunjuk keke. Dan memang, sebuah tunas muncul di tempat mereka menanam benih misterius itu.
               Oik bertepuk tangan. “oh, cantik sekali,” bisiknya.
               Sebenarnya tunas itu sama sekali tidak cantik. Daunnya kuning pucat, batangnya dipenuhi bintik-bintik kecil seperti cacar. Tapi memang begitulah oik. Baginya, semua tanaman cantik.
               Keke kegirangan. “shilla!” ia berseru pada peri yang lewat. “lihat tanaman baru kami!”
               Shilla terbang mendekat. Ia menatap tunas itu dan tersenyum mengejek. “sayangku, aku belum pernah melihat sesuatu yang begitu jelek,” ujarnya.
               Keke cemberut. Oik merengut. Shilla selalu berkata-kata kejam, pikirnya. Peri terbang cepat itu memang jahat.
“mengingatkanku pada ulat sakit yang pernah kulihat,” ujar shilla. “kalau aku jadi kau, akan kuakhiri penderitaannya sekarang juga. Keke, cepat ambil sekop dan gali tanaman itu!”
               Sinar keke makin menyala saking marahnya. Ia menatap shilla dengan galak.
               Oik tidak menghiraukan shilla. “keke, yuk kita siram,” katanya. “kelihatannya dia butuh air.”
               Keke melotot sekali lagi kepada shilla. Lalu ia mengambil ember dan bergegas ke sungai.
“oik sayang, kok kamu  bisa tahan sih menghadapi dia setiap hari?” tanya shilla, menatap punggung keke. “peri bakat kebun yang tidak punya kebun.” Ia menggelengkan kepala. “ck,ck,ck. Menyedihkan sekali.” Tapi nada suara shilla tidak sedih. Ia kedengaran geli.
“dia lebih menyenangkan daripada peri-peri tertentu,” jawab oik
               Shilla tersenyum manis. “aku tahu kau menyindirku, manis. Bersenang-senaglah dengan tunas kecilmu. Tapi hati-hati saja terhadap bintik-bintik itu. Kelihatannya menular.”
               Sambil melompat ke udara, shilla menambah kecepatan dan menghilang.
***

               Selama beberapa hari, oik dan keke merawwat tanaman itu dengan hati-hhati. Mereka menyiraminya setiap pagi. Mereka mengajak bicara setiap sore. Tunas itu tampaknya menikmati perhatian mereka dan tumbuh dengan pesat. Tak lama kemudian ia sudah lebih tinggi daripada para peri.
               Tanaman itu juga bertambah jelek. Bintil-bintik kecilnya berubah jadi kutil-kutil besar. Getah lengket mengalir dari batangnya. Dahan-dahannya kurus dan lemas. Kadang-kadang oik menganggap shilla benar juga. Tanaman ini memang mirip ulat sakit, ulat sangat besar yang sakit, dengan kaki lemas.
               Tapi oik tidak peduli. Ia tahu tanaman itu bahagia, dan ia pun bahagia.
               Peri-peri lain tidak sependapat. “oik, kemari, cepat!” suatu pagi gita menyerbu masuk keruang teh. “aku baru saja terbang melewati kebunmu. Ada monster yang menyerang buttercupmu!”
               Oik segera meletakkan cangkirnya dan kedua peri itu bergegas keluar dari home tree.
               Diluar kebun oik, mereka berhenti dibalik semak mawar. Dengan isyarat mata, mereka sepakat untuk mengejutkan makhluk itu. Gita menghunus pisaunya. Kedua peri itu merangkak maju.
“itu dia!” bisik guta sambil menunjuk.
               Oik mulai tertawa. Ia tertawa gelak-gelak sampai mengeluarkan air mata.
               Gita menatapnya heran.
               Akhirnya oik terbang dan mendarat disisi “monster”. “gita,” katanya disela gelak tawa, “perkenalkan, tanamanku yang baru.”
“itu tanaman?” gita menegaskan. Ia tersipu malu dan menurunkan pisaunya. Sambil berjalan beberapa langkah kedepan, ia menatap dahan-dahan buruk tanaman itu. “tanaman jenis apa?”
“entahlah. Kutemukan benihnya dihutan dan kutanam,” oik menjelsakan.
“menarik sekali,” jawab gita. “tapi akan mengagetkan kalau kita berpapasan dengannya malam-malam.”
               Bahkan peri-peri bakat kebun lainnya pun ragu. “aku belum pernah melihat tanaman seperti ini,” kata gita. “kau yakin kau ingin terus memeliharanya dikebunmu?”
“aku yakin,” kata oik
               Peri-peri lain menatap bunga indah disekeliling mereka dan menggelengkan kepala. Tapi mereka tidak mengatakn apa-apa lagi. Bagaimanapun, ada untungnya juga. Tanaman misterius itu membuat keke betah disini dan menjauh dari kebun-kebun mereka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar