Permaisuri sivia sudah bersiap pulang ke istana. Kini tinggal menunggu shilla yang pamit pada anaknya. Ia duduk disebuah kursi kayu dilengkapi busa. Alvin berdiri disisinya.
“sebenarnya, kapan menurutmu mereka akan menyerang hinkal?” tanya alvin pendek pada permaisurinya. “kami harus bersiap terlebih dahulu.”
“aku tidak tahu pastinya. Tapi aku membutuhkan kalian pada hari perayaan dewi furita.” Sivia menjawab tegas. “kau harus membuat strategi yang hebat. Kupikir, jumlah pasukan kita akan jauh lebih sedikit dari pasukan mereka.”
Alvin menurunkan tubuhnya dan duduk ditanah. “itu dua hari lagi dari sekarang. Bila memang menurutmu kita akan kalah dalam jumlah, kita harus meminta pasukan di little kembali kesini.” Ia memandang wajah permaisurinya. “masih cukup waktu.”
“perjalanan stars-little memakan waktu dua hari. Memang cukup bagi mereka untuk kembali kesini. Tapi kita akan kalah,” jawabnya datar. “mereka pasti sangat kelelahan,” kemudian ia memandang wajah alvin dan menatap matanya. “harapanku padamu sangat besar.”
Mendengar perkataan permaisuri, alvin terdiam sejenak dan berdiri. “aku sangat berterima kasih akan kepercayaanmu padaku. Tapi maafkan aku, permaisuri, kupikir kau salah. Kita akan menang bila mereka ditarik mundur ke stars dan membantu kita. Memang mereka akan kelelahan tapi aku yakin kita akan menang.” Alvin terdiam sejenak karena permaisuri sivia berdiri ketika mendengar penjelasannya. “bila keyakinanmu sangat besar padaku. Maka kuminta kau percaya sepenuhnya padaku.”
“baiklah, jendral besar,” jawab sivia ramah. “sesampainya di istana aku akan langsung mengirim pesan ke little.”
“jangan, permaisuri.” Alvin menyela. “aku minta kau mengirim pesan itu esok pagi saja.”
Sivia bingung mendengar saran alvin. Bila pesan dikirimkan esok pagi, mereka akan terlambat sampai ke hinkal, tanpa persiapan. Mungkin saja, ketika mereka tiba, perang telah terjadi. Namun ketika ia melihat sorot mata yang penuh dengan keyakinan dari mata alvin, sivia menganggukan kepala dan menyetujui permintaan jendral besarnya tersebut. Alvin adalah ahli strategi tercerdas di stars. Kemenangan di zonega merupakan bukti bahwa strateginya sangat sulit diduga musuh. Waktu itu alvin belum menjadi ahli strategi utama, tapi ia memberi banyak masukan yang sangat berarti pada duta, yang saat itu menjadi ahli strategi utama.
“dan satu lagi permintaanku, permaisuri,” ujarnya sambil menyisir janggutnya. “aku minta deva, ray, nico, dan edgar dirawat di hinkal. Mereka tidak mungkin pulih dalam waktu singkat bila dirawat disini.”
“aku akan membawa mereka. Tapi kau belum sepenuhnya melatuh ray, apa kau yakin ia akan siap untuk perang nanti?” tanya sivia.
“ia harus sudah siap.” Jawabnya singkat.
Pukul tiga sore, semuanya telah berkumpul didepan dua kereta yang akan membawa permaisuri sivia, shilla, deva, ray, nico, dan edgar ke hinkal. Sebelumnya alvin meminta mereka untuk berbicara sejenak, ia membahas strategi pasukannya yang akan bergabung bersama mereka di stars pada hari perayaan dewi furita. Saat ini kondisi mereka cukup mengkhawatirkan. Hanya ray dan edgar yang dapat berdiri dan berjalan. Deva dan nico hanya bisa duduk, itu pun dengan bantuan orang lain, sedangkan edgar berdiri tegap dengan sebelah matanya yang ditutupi perban.
“deva, hari itu kau harus sudah mempersiapkan seluruh pasukan yang berada di hinkal,” jelas alvin.”mereka harus sudah siap ketika kami datang. Aku minta seluruh menara dijaga oleh beberapa penjaga dan seluruh sudut kota harus diberi penjagaan.”
“baik, aku mengerti dan aku akan mengurusnya. Tapi ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Mengapa kita semua tidak pergi ke hinkal saja sekarang? Mungkin akan lebih mudah mempersiapkan bila kita semua sudah berada disana.”
“tidak, aku ingin mengejutkan mereka. Lagipula, kupikir sebagian dari mereka akan menyamar sebagai rakyat biasa dan memulai penyerangan dari dalam kota. Kemudian disusul peperangan dari luar kota. Kita akan menyamar sebagai rakyat biasa juga. Jika mereka merasa pasukan di hinkal hanya sedikit, mereka akan lengah.”
Mereka semua mendengarkan dan memerhatikan seluruh penjelasan alvin dengan cermat ketika ahli strategi itu menjelaskan seluruh rencananya pada selembar peta ota. Permaisuri sivia sangat bangga mendengar rencana alvin. Strategi yang brilian, pikirnya dalam hati. Tapi tak lama kemudian, ia merasa alvin telah melewatkan satu hal, yaitu batu suci stars yang berada di inti kota hinkal : the hinkal core.
Batu ini akan menjadi sasaran utama bila siafrin benar-benar masih hidup. Batu ini memiliki kekuatan yang sangat besar, sangat berbahaya bila jatuh ke tangan yang salah. Ia mencoba untuk menyela, namun alvin tidak menggubrisnya. Permaisuri sivia memandang wajah polos ray yang tampak sangat serius memerhatikan arahan alvin. Ia masih sangat muda dan ia masih belum siap, pikirnya.
Setelah setengah jam alvin memberi arahan pada kawan dan anak buahnya, ia membisikan sesuatu pada permaisuri sivia, “siafrik kuserahkan padamu,” bisiknya.
Sivia memandang wajah alvin lalu menganggukan kepalanya. Ia sadar bahwa alvin sudah cukup sulit memikirkan strategi untuk memukul mundur pasukan moon dari hinkal. Masalah siafrik harus ia pikirkan tanpa mengganggu alvin. Winda pasti bisa membantuku, pikirnya sambil memijakkan kakinya pada pijakan kereta kuda. Para penjaga telah membuka gerbang kamp. Kusir kerajaan memecut kuda lalu pergi, diikkuti kedua kereta kuda lainnya, beserta tiga pengawal.
“apa kau memikirkan tentang kemungkinan siafrik masih hidup?” tanya debo pada alvin yang masih mengamatai peta hinkal.
“bila benar siafrik masih hidup, aku yakin dewi furita tidak akan membiarkan kita kalah pada hari kita memujanya. Lagipula, kita sudah mempunyai cardan murni”
“tapi dia masih kecil, masih sangat kecil,” gumam debo sambil memandang gerbang kamp yang sekarang perlahan mulai menutup kembali.
Rombongan permaisuri berjalan beriringan. Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, kereta kuda itu berhenti. Salah satu pengawal mengetuk kereta kuda sang permaisuri. Ray yang berada disisi pintu, langsung membukanya.
“maafkan kami, permaisuri!” hormat pengawal tersebut. Bisakah salah satu dari kalian keluar” lanjutnya pada deva dan ray.
Mereka berempat saling pandang. Mereka tahu ada sesuatu yang mencurigakan dalam perjalanan mereka. Deva menegakkan tubuh dan mencoba turun, namun ray mencegahnya.
“lukamu lebih parah dari lukaku. Biar aku saja yang turun dan menemani mereka. Kau harus segera dirawat di hinkal.”
Ia menginjakkan sebelah kakinya keluar, lalu ibunya memegang lengannya.
“biarkan, ibu, ini sudah menjadi kewajibanku.” Ray tersenyum lalu meminjakka sebelah kakinya yang lain keluar, kemudian menutup pintu kereta.
“ada sesuatu yang mengikuti kita dari tadi,” ujar pengawal tersebut. “aku minta kau menemaniku disini untuk menghentikannya. Namaku satria, dia deva, dan wilson,” lanjut pengawal tersebut sambil memperkenalkan kedua temannya.
Ray langsung menyukai pria yang berdiri dihadapannya. Wajahnya kokoh, klimis, sorot mata coklat tuanya yang cerdas itu bukan tipe militer kasar yang sangat tidak disukainya.
“namaku raynald prasetya. Aku mengerti, kedua kereta ini harus berangkat sekarang,” jawab ray sambil menggengam erat pedangnya. Sebenarnya dadanya dari tadi masih terasa sakit. Ia hanya memang mengalami cedera di dada. Berbeda deva yang mengalami cedera pada pinggul yang membuatnya tak dapat berdiri kokoh kemudian nico yang lengannya masih terluka parah.
“kita bertiga harus menghentikannya disini,” ujar edgar yang ternyata sudah turun dan telah menggengam cakramnya. “biar kedua temanmu itu tetap bisa mengawal permaisuri pulang,” lanjutnya pada satria.
Satria menganggukan kepala lalu memerintahkan kusir kereta kuda kembali memacu kuda mereka, kedua temannya juga diperintahkan untuk tetap mengawal kedua kereta tersebut. Permaisuri sivia, shilla, dan deva memandang ray dan edgar yang melambaikan tangan pada mereka.
Tak lama setelah kedua kereta itu pergi, terdengar teriakan mendekati ray, edgar, dan satria. Mereka bertiga menggenggam erat senjata masing-masing dan bersiap-siap.
“mudah-mudahan penglihatanku salah!” ujar satria sambil menunjuk langit.
“LOGITE!” tiba-tiba ia berteriak
Seketika itu juga tampak lima ekor logite ( makhluk magis dengan tinggi lebih dari empat meter yang dilengkapi sayap kelelawar besar dan wajah yang sebesar perisai perang. Konon makhluk ini adalah para pengawal siafrik dan mereka termasuk pemakan bangkai. Makhluk itu tidak akan segan mencabik-cabik tubuh lawannya dengan cakarnya yang besar dan giginya yang tajam. ) terbang kearah mereka.
“LARIII!” teriak ray. Ia yakin mereka tidak mungkin menang melawan lima logite.
Satria dan edgar menyusul lari dibelakangnya. Mereka bertiga berlari sekencang-kencangnya, kabur dan kelima logite yang terbang mengejar mereka. Satria dan edgar jelas tertinggal jauh dari ray. Tiba-tiba satria terjatuh, kakinya terpeleset oleh akar-akar pohon. Ia berteriak. Kakinya terkilir. Edgar yang mendengar teriakan satria langsung berlari ke arahnya dan membopong rekannya itu sambil mencoba tetap berlari.
Namun derap kakinya terhenti ketika seekor logite menjejakkan kakinya tepat dihadapan mereka berdua. Logite tersebut berteriak nyaring setelah mengendus edgar dan satria. Edgar meletakkan satria yang tak bisa berdiri
“jangan mencoba memanggil teman-temanmu kemari,” ujarnya pada makhluk tersebut sambil mengarahkan cakramnya.
Sang makhluk mungkin mengerti ucapan dari edgar karena beberapa saat kemudian ia berhenti berteriak. Sorot matanya sangat tajam dan giginya mulai menciutkan nyali edgar. “furita, bantu aku!” gumamnya sambil melemparkan cakramnya tepat mengenai kepala logite tersebut, lalu cakram itu berbalik, kembali ke telapak tangannya.
Logite tadi berteriak kesakitan, memegang kepalanya dan mulai berjalan menjauhi edgar. Edgar yang merasa ini merupakan kesempatan untuk melarikan diri, langsung kembali membopong satria dan berlari. Tidak sampai beberapa meter berlari, langkahnya terhenti lagi. Kali ini tidak hanya seekor logite yang menghadangnya, melainkan empat ekor. Mereka berdiri dan berteriak-teriak didepannya. Hidupku bisa berakhir sekarang bila aku melawan mereka sendiri, pikirnya sambil melangkah mundur.
“RAY!!!!!!” teriaknya ketika keempat logitetersebut mulai mendekatinya, seekor lagite bahkan sudah menunggunya dibelakang.
Salah satu logite mulai menyerang edgar dan disusul oleh yang lainnya. Mereka mencoba mencabik edgar dengan cakarnya yang panjang, edgar sama sekali tidak menyerang balik. Ia hanya mencoba menangkis dan menghindar dari serangan-serangan yang bertubi-tubi ke arahnya. Aku akan mati, pikirnya ketika cakram andalannya terpental jauh saat menangkis seraangan.
“ARAS! ARAS!!!” ia terus berteriak saat salah satu logite mencengkram satria dan membawanya terbang.
Ray menghentikan larinya ketika sayup-sayup mendengar suara teriakan dari seseorang, saat itu juga ia baru menyedari bahwa satria dan edgar tidak ada dibelakangnya. Ia segera kembali ke sumber suara. “kuharap belum terlambat!” gumamnya pelan.
***
Edgar kini benar-benar terdesak, jaraknya dengan empat logite terus mendekat. Ia tahu benar bahwa kini ia berada dalam posisi sangat sulit. Jangankan menyerang, bergerak pun sudah sangat sulit. Ia meundukkan kepala, wajahnya tertutup rambut hitamnya. Ia terdiam diri sejenak. Saat salah satu logute mendekatkan wajahnya yang sebesar perisai besi ksatria pada tubuhnya, secepat kilat edgar melompat dan menerkam kepala yang mendekatinya. Tangan kirinya mencengkram alis mata logite, dan tangan kanannya memukul wajah makhluk tersebut secara beruntun.
Pukulan pertama sangat telak dan membuat logite tadi berteriak kesakitan serta berusaha melepaskan edgar. Tiga logite lainnya mulai mencakar punggung edgar, meskipun demikian, ia tidak melepaskan cengkramannya dan tidak berhenti melesatkan pukulannya. Kini, logite tadi mulai membanting-bantingkan tubuhnya pada tanah dan pohon agar edgar lepas dari wajahnya yang mulai mengeluarkan banyak darah. Setelah pemuda itu lepas, makhluk itu kabur karena terluka parah diwajahnya.
“tunggu aku, edgar!” ujar ray yang sudah berada diatas pohon. Ray melemparkan buah yang dipetiknya dari pohon tempatnya tadi berdiri ke arah para logite itu, ketika logite yang menyerang edgar kini mengalihkan perhatiannya pada ray. Mereka berjalan mendekat. Ray kini melompat kebawah, menggerakkan tangan dan menantang mereka. Edgar yang berada disebelahnya sudah kelelahan melepaskan cengkramannya kemudian terjatuh.
“apa kau masih bisa berjalan, edgar?” tanya ray lantang disela-sela perkelahian. Edgar mulai mencoba berdiri.
“kurasa masih bisa!” rintih edgar. “mari kita bunuh mereka semua!”
“tidak! Kau harus pergi sekarang. Serahkan mereka bertiga padaku!” jawab ray tegas sambil memerhatikan tiga makhluk raksasa yang semakin dekat.
Apa yang dia lakukan? Pikir edgar sambil memandangi ray yang mengisyaratkan dirinya untuk pergi meninggalkannya sendiri? Pertanyaan itu terngiang ditelinganya ketika memungut cakramnya.
“PERGI!!! SEKARANG!!!!!” ray kembali berteriak lantang.
Sorot mata ray menunjukkan keyakinan yang sangat tinggi, membuat edgar memutuskan untuk meninggalkannya.
“kuharap kau baik-baik saja!” gumamnya pelan sambil berlari meninggalkan tempat tersebut.
“baiklah, sekarang tinggal kita berempat!” kata ray pelan.
Salah satu logite menoleh kearah edgar yang sedang berlari, namun ketika makhluk itu hendak mengejarnya, secepat kilat ray menyabet kaki makhluk tersebut dengan pedangnya. “biarkan ia pergi!!!!”
Logite tadi mengerang kesakitan dan membuat dua logite lainnya marah. Ray mulai melangkah mundur. “tempat ini terlalu sempit untuk kita berempat. Mari kita mencari tempat yang lain,” katanya sambil berlari kearah yang berlawanan dengan edgar. Kedua logite langsung terbang mengejarnya, logite ketiga juga menyusul mereka.
Ray berlari kencang sambil terus memikirkan cara mengalahkan makhluk-makhluk menyeramkan itu. Saat ini ia Cuma berlari karena yakin bahwa kecepatannya tidak mungkin ditandingi oleh mereka. Ray merasa beruntung karena hutan ini sangat lebat sehingga mudah baginya untuk berlari menyusup diantara pepohonan yang menyulitkan makhluk sebesar logite. Beberapa kali ketiga logite itu membentur pohon yang menghalangi mereka.
Tiba-tiba ia berhenti dan menyadari bahwa sudah tidak ada lagi jalan dihadapannya. Ia berdiri ditepi jurang, ia mengamati jurang tersebut dan menghitung kedalamannya. Ini saatnya untuk menghadapi mereka, pikirnya sambil membalikkan badan dan menemukan dua daro mereka dihadapannya. Ray menggenggam pedang dengan dua tangan dan mengarahkannya kedepan. Namun dalam sekejap logite yang tadi dilukainya mencengkram kaki kanannya dan membawa tubuhnya keudara. Ray tidak bisa melakukan apa pun, badannya terbalik, dadanya terasa sakit saat ia mencoba mengangkat tubuhnya untuk menggenggam pedangnya.
Selama ada pedang ditangannya, ray percaya bisa mengalahkan hewan-hewan itu. Dalam posisi terayun-ayun di udara ray mengambil ancang-ancang untuk menyerang. Setelah dirasa tepat ray melemparkan pedangnya sekuat tenaga ke tubuh makhluk tersebut. Pedang itu mendarat tepat mengenai jantungnya. Makhluk itu meronta, ray semakin terayun-ayun ke udara. Namun tak lama hewan itu terkulai, mematahkan dahan-dahan pohon disampingnya. Ray terlepas dari cengkraman. Dengan cepat ray meraih badan logite agar tidak terpental di tanah.
Tak lama kemudian logite lainnya mendarat dihadapan ray. Keduanya memandangi temannya yang sudah mati, kemudian memandang ray dengan penuh amarah. Mendadak ray tidak mampu berdiri, tulang-tulang kakinya terasa sangat ngilu dan tidak mampu menopang tubuhnya lagi. Ia berlutut dan bertumpu pada pedang yang ditancapkannya ketanah.
Ia mulai berpikir inilah akhir hidupnya, ketika dua makhluk tersebut mulai berjalan mendekatinya. Pada saat kedua makhluk itu telah berada sekitar tiga meter dari dirinya, ia mencoba cara terakhirnya.
“AAAAAAAAAAAAAKKKKKKKKKKKKKKKKKHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!!!!” ray berteriak
Tiba-tiba kedua makhluk tadi menunjukkan wajah ketakutan dan terbang meninggalkan dirinya dengan terburu-buru. Ray tak percaya upayanya yang terakhir bisa membuat makhluk-makhluk itu kabur dan ketakutan. “makhluk yang aneh,” gumamnya kecil sambil mulai mencoba untuk berdiri.
Tak berapa lama, ia terkejut ketika melihat makhluk seperti manusia seukuran telapak tangan terbang disamping wajahnya, ia lalu memandang sekeliling, ratusan makhluk yang sama jenisnya terbang mengitarinya. Ray tidak tahu bahwa dua logite tadi pergi bukan karena teriakannya tapi karena melihat ratusan makhluk itu. Ia terjatuh, lunglai dan tak sadarkan diri karena kehabisan tenaga.
***
Ray terbangun, mengetahui bahwa ia tak sadarkan diri cukup lama. Ketika membuka matanya, ia melihat seorang wanita duduk dihadapannya, wanita yang beberapa waktu lalu ditemuinya di hinkal ketika hendak mengambil pelana kuda pesanan duta. Wanita itu tersenyum kearahnya, menuangkan sup kedalam sebuah mangkuk yang terbuat dari batok kelapa, dan memberikannya pada ray.
“minumlah ini. kau sangat kelelahan, anak muda,” ujarnya. “ini dapat mengembalikan tenagamu.”
Ray mengambil mangkuk tersebut dan meminumnya perlahan-lahan. “siapa kau? Mengapa aku bisa sampai kesini?” tanya ray. Sebenarnya ia sedikit risih dengan wanita itu.
“namaku ira,” jawabnya. “anakku yang akan menjelaskan mengapa kau bisa berada disini. Ia sedang bersama temanmu, memeriksa daerah ini bebas dari logite.”
Ray lega mendengar perkataan dari wanita itu. Berarti edgar atau satria selamat dari para logite yang tadi menyerangnya. Sambil menghabiskan supnya, ia mengamati ira.
Semua itu tersirat dikepala ray, juga tentang makhluk yang baru ia lihat tadi. Pria berukuran setelapak tangan dan mempunyai sayap seperti capung. Tak lama kemudian, ia teringat pada dongeng ibunya. Cerita tentang seorang nenek sihhir dan para peri. Ira sangat cocol menjadi nenek sihir. Sedangkan makhluk yang barusan ia lihat mirip peri. Aku mungkin sudah gila, pikirnya lagi.
“halo, ray!” sapa edgar yang muncul dari jalan setapak. “bagaimana keadaanmu?”
Bukannya merasa senang, ray sangat terkejut melihat temannya. Tubuhnya tampak sangat bugar, berbeda sekali dengan yang dilihatnya terakhir kali. Tidak ada lagi balutan perban di tubuhnya. Tak mungkin edgar dapat pulih sedemikian cepat. Ia menyuruh temannya duduk disebelahnya.
“apa yang sebenarnya terjadi?” bisiknya.
“wanita itu telah menyembuhkan semua lukaku. Kuakui, ia lebih baik dari gita.” Edgar membantu ray untuk berdiri. “ dan oik, anaknya, adalah seorang peri yang sangat hebat. Ia yang menyelamatkanmu dari para logite tadi.”
Wajah ray terlihat bingung. Ia tak percaya makhluk yang dilihatnya benar-benar peri. Sekarang ia benar-benar tidak bisa memercayai apapun, ternyata semua cerita ibunya benar-benar nyata. Kemudian ia bertanya, “apakah kau yakin ia adalah peri? Apakah nenek itu adalah nenek sihir?”
Edgar menggelengkan kepala dan tersenyum lucu. “tidak, ia bukan nenek sihir jahat seperti cerita dongeng, walaupun ia mempunyai sihir yang kuat. Dan oik benar-benar seorang peri.”
“bagaimana kabar satria?” tanya ray
“logite membawanya,” ujar edgar
“apa kau masih mengenalku, ray, si anak sanggu?” tiba-tiba terdengar suara dari atas.
Ray dan edgar mendongakkan kepala, melihat peri yang terbang melingkar dikepala mereka, lalu terbang ke hadpan mereka.
“kau pasti mengenal ibuku, kita pernah bertemu dikota. Kau memberiku sepotong roti gandum,” ujar peri tersebut.
Mata ray terbelalak melihat peri itu. Lalu ia mengingat kejadian ketika ia bertemu ira dikota. Benar, ira waktu itu bersama anaknya, tapi ia yakin anaknya adalah seorang manusia bukan seorang peri.
Lagi-lagi peri tersebut mengejutkan ray, dalam sekejap ia berubah menjadi anak kecil yang beberapa waktu lalu dilihat ray dikota. Ray mesih mengingat benar wajah kumal dan mata bundarnya. Ya, inilah anak kecil yang ditemuinya.
“aku dapat mengubah diriku menjadi apa saja! Seperti tadi, aku memperbanyak diriku menjadi ratusan. Walaupun hanya ilusi, semua itu membuat para logite tadi ketakutan,” ujar oik, lalu ia kembali berubah menjadi peri. “ibuku juga seorang peri, tapi ia lebih suka menjadi seorang manusia.”
Ray teringat akan misinya, ia harus cepat menuju hinkal. Deva akan membutuhkan dirinya dan edgar. “maaf, oik, aku sangat berterima kasih atas seluruh bantuanmu, tapi kami harus segera berada di hinkal.”
Edgar beru menyadari hal tersebut. Ia kemudian mengganggukan kepalanya pada oik, menyampaikan ucapan terima kasihnya pada ira yang masih mengaduk sup di kualinya.
“anak sanggu, apa kau kira kau dapat menang melawan siafrik dan menyelamatkan stars dengan kemampuanmu yang masih belum terlatih?” tanya oik pasa ray.
Suasana menjadi hening, ray tahu bahwa dirinya sangat jauh dari siap. Apalagi bila harus melawan siafrik. “apa maksudmu?” tanyanya.
“ibuku dapat memberimu waktu ddan tempat untuk berlatih”
Ray menaikkan sebelah alisnya, “aku hanya punya waktu dua hari, apa maksudmu memberiku tempat dan waktu?”
Oik menyuruhnya menghampiri ibunya. Ray menurutinya, ia berdiri didepan kuali besar berisi sup yang sedang diaduk oleh nenek tua itu.
“ibu, inilah saatnya,” ujar oik pada ibunya. “kau mempunyai waktu dua bulan didunia ibuku. Ia akan menemanimu disana, sedangkan aku dan edgar akan berjaga disini. Dan asal kau tahu, ibuku tidak suka berbicara.”
Ray masih belum mengerti semua yang dikatakan peri ini, namun perlahan ira menyentuh tangannya, dan kemudian keduanya pingsan tak sadarkan diri.
“ia pasti sangat kesal,” kata edgar. “ia sudah sering kali dibuat pingsan. Tapi apa maksudmu, ibumu dapat memberinya waktu dan tempat?”
Kemudian, peri tersebut menjelaskan bahwa ibunya mempunyai kemampuan untuk membawa jiwa orang lain dan dirinya kesebuah dunia lain. Mirip seperti tertidur, namun segalanya terasa nyata. Dunia tanpa seorang pun disana, dan satu hari disini sama dengan satu bulan disana.
Dalam sekejap, ray sudah berada disebuah tempat yang tidak dikenalnya. Ia dan ira berada disebuah bukit. Ia tahu bahwa ini bukanlah dunianya, disini siang hari sedangkan dunia yang tadi ditinggalkannya malam. Kemudian ia memandang ira yang ternyata membawa kuali dan masih saja mengaduk isinya.
“disini tidak ada malam,” ujar ira parau, mengeluarkan sebuah jam pasir dari balik bajunya. “ini penunjuk waktu. Bila tabung bawahnya penuh, itu waktunya untuk pulang. Kita berada disini selama dua bulan, dua bulan disini sama seperti dua hari diduniamu. Kupikir, itu cukup untuk melatih kemampuanmu. Dunia ini sama ukurannya dengan duniamu. Disini terdapat banyak makhluk yang dapat kau jadikan sarana latihan, disini tidak ada seorang pun manusia selain kau dan aku. Kau bebas pergi kemana pun kau mau, aku akan berada disini dan membuatkan makanan untukmu.”
Mulut ray menganga mendengarnya, beberapa hari ini ia mengalami banyak hal yang tidak dapat diterima akalnya. Aku pasti sudah gila, pikirnya sambil memandangi tempat tinggal barunya selama dua bulan kedepan.